BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan
dasar hukum tanah nasional yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan
tanah beserta sumber daya alam. Orang perorangan ataupun badan hukum dapat
menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah melalui prosedur permohonan hak
kepada pemerintah atau melalui peralihan hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi
karena peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peralihan hak atas tanah karena
peristiwa hukum dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat. Sedangkan
perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak atas tanah, antara lain jual
beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahan, dan perbuatan lainnya.
Menurut hukum tanah nasional, perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihanya
hak atas tanah hanya dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Awal mula eksistensi jabatan PPAT diatur
dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya yang menegaskan bahwa setiap
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah harus dilakukan para pihak di hadapan
Penjabat yang ditunjuk oleh menteri. Selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Pejabat yang Dimaksudkan Dalam Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa penjabat yang dimaksud adalah
PPAT.
Seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik berkaitan dengan pertanahan dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun
1998, yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut
hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun. Dalam sistem hukum nasional,
PPAT bukan merupakan satu-satunya pejabat umum. Notaris berdasarkan UU Nomor 30
Tahun 2004 juga ditegaskan kedudukannya sebagai pejabat umum dengan kewenangan
yang jauh lebih luas dibandingkan PPAT.
Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum
lebih luas dibandingkan PPAT karena Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diperintahkan undang-undang
maupun permintaan para pihak sepanjang tidak dikecualikan oleh pejabat lain
berdasar undang-undang. Sedangkan PPAT hanya berwenang membuat 8 jenis akta
peralihan dan pembebanan hak atas tanah sebagaimana ditegaskan dalam
PMNA/Perkaban Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998.
Selama ini eksistensi kedudukan PPAT sebagai
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan
akta pertanahan diragukan bahkan dikritisi. Adapun yang menjadi pemicu keraguan
dan kritik tersebut adalah, pertama, ketiadaan
suatu dasar hukum kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang diatur dalam bentuk
Undang-undang. Peraturan jabatan PPAT selama ini hanya diatur dalam bentuk
Peraturan Pemerintah.
Kedua
adalah pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam bentuk
bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh Kepala BPN.
Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan cara mengisi blanko akta
yang disediakan BPN dianggap mengurangi hakikat dari kedudukan PPAT sebagai
pejabat umum. Dengan ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberikan kewenangan yang
sama dengan Notaris untuk membuat aktanya sendiri, bukan sebaliknya mengisi
blanko akta. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka akan
dianalisis eksistensi jabatan PPAT selaku pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi
permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
kedudukan akta-akta pertanahan yang dibuat PPAT selama ini ditinjau dari aspek otentisitasnya berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
BAB
II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG PPAT DAN AKTA OTENTIK
A. Pengertian,
Kedudukan, dan
Macam PPAT
Pejabat
Pembuat Akta Tanah merupakan jabatan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961. Dalam
Peraturan Pemerintah tersebut diperintahkan bahwa semua perbuatan hukum yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah atau membebani hak atas tanah sebagai
jaminan hutang harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan
“penjabat” yang ditunjuk oleh Menteri. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor
10
Tahun 1961 yang menentukan dengan tegas bahwa akta-akta pertanahan merupakan
wewenang Penjabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam
perkembangannya PP Nomor 10 Tahun 1961 digantikan dengan PP Nomor 24 Tahun
1997. Di dalam PP ini, kedudukan
PPAT sebagai pejabat umum ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 yang berbunyi PPAT
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu. Pasal 7 Peraturan Pemerintah
yang sama menyebutkan pula bahwa peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Peraturan pelaksanaannya Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006 tentang
ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang kemudian
diubah sebagai Pasalnya oleh Peraturan Kepala BPN Nomor Nomor 23 Tahun 2009.
Pengertian PPAT berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Pada
umumnya, PPAT merangkap dengan jabatan Notaris. Rangkap jabatan tersebut dimungkinkan
oleh ketentuan Pasal 7 ayat 1 PP Nomor
37
Tahun 1998. Rangkap jabatan tersebut dimungkinkan karena keduanya berkedudukan
sama sebagai pejabat umum, walaupun notaris merupakan pejabat umum dengan
kewenangan yang lebih umum dan luas dibandingkan PPAT. Selain itu terdapat pula
derivasi dari jabatan PPAT, yaitu:
1.
PPAT Sementara menurut
ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah
yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara adalah Camat atau Kepala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 3 huruf a.
2.
PPAT Khusus menurut
ketentuan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat Badan
Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas
PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program
atau tugas Pemerintah tertentu. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b PPAT
khusus tersebut adalah Kepala Kantor Pertanahan.
A.
Tugas
Pokok dan Kewenangan PPAT
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum
yang dimaksud meliputi:
1.
Jual beli,
2.
Tukar menukar,
3.
Hibah,
4.
Pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng),
5.
Pembagian hak bersama,
6.
Pemberian Hak Bangunan/
Hak Pakai atas Tanah Hak Milik,
7.
Pemberian Hak
Tanggungan,
8.
Pemberian Kuasa
membebankan Hak Tanggungan.
Dalam
rangka melaksanakan tugas pokok tersebut, maka PPAT diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998 yaitu kewenangan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah
disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
PPAT
Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya. Sedangkan PPAT khusus hanya
berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus
dalam penunjukannya.
B.
Daerah
Kerja PPAT
Berdasarkan
ketentuan Pasal 12 PP Nomor 37
Tahun 1998, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten. PPAT hanya berwenang membuat akta tanah dalam daerah kerjanya.
Pengecualian terhadap kewenangan PPAT yang hanya meliputi satu daerah kerja
diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat 2. Perluasan daerah kerja dibatasi dalam
pembuatan Akta tukar
menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama.
Akta tersebut tetap dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah
satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan
hukum dalam akta tersebut.
Pasal 13 ayat (1) PP
Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa dalam hal terjadi pemecahan wilayah
kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 tahun
sejak diundangkannya Undang-undang Pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II
yang baru, PPAT yang wilayah kerjanya merupakan daerah yang dipecah tersebut
harus memilih daerah kerja yang baru antara kabupaten/kota hasil pemecahan
tersebut. Jika PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 Tahun sejak diundangkannya
Undang-undang Pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru tidak juga
melakukan pemilihan daerah kerja, maka daerah kerjanya ditentukan berdasarkan
dimana letak kantornya berkedudukan.
C.
Kewajiban
dan Larangan PPAT
1.
Kewajiban PPAT
Kewajiban
PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun
2006 adalah :
a.
menjunjung tinggi Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
mengikuti pelantikan dan
pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
c.
menyampaikan laporan bulanan
mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
d.
menyerahkan protokol PPAT dalam
hal :
1) PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan;
2) PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT
Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3)
PPAT Khusus yang berhenti sebagai
PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
e.
membebaskan uang jasa kepada orang
yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah;
f.
membuka kantornya setiap hari
kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja
paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
g.
berkantor hanya di 1 (satu) kantor
dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
h.
menyampaikan alamat kantornya,
contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada
Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala
Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan
dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
i.
melaksanakan jabatan secara nyata
setelah pengambilan sumpah jabatan;
j.
memasang papan nama dan
menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
k.
lain-lain sesuai peraturan
perundang-undangan.
2.
Larangan dalam pelaksanaan jabatan PPAT
Larangan dalam pelaksanaan
jabatan PPAT tidak diatur secara khusus dalam satu pasal tertentu dalam PP
Nomor 37 Tahun 1998, akan tetapi ada beberapa
larangan yang tersurat dalam beberapa pasal, yaitu:
a. berdasarkan
Pasal 23 PP Nomor
37 Tahun 1998 PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT
sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis
lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua,
menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak
sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
b. berdasarkan ketentuan Pasal 7 PPAT dalam melaksanakan
tugas jabatannya dilarang rangkap jabatannya dengan profesi pengacara atau
advokat dan pengawai negeri atau pegawai BUMN/BUMD. Adapun alasan pelarangan
yang demikian adalah untuk menjaga imparsialitas dan kemandirian PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya. PPAT yang merangkap
jabatan sebagaimana tersebut di atas wajib mengajukan permohonan berhenti
kepada Kepala Badan. Apabila dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak PPAT
yang merangkap jabatan tidak mengajukan permohonan berhenti, maka Kepala Badan
memberhentikan dengan hormat yang bersangkutan sebagai PPAT.
D. Tinjauan
Umum Tentang
Akta Otentik
Dalam
hukum acara perdata terdapat 5 (lima)
alat bukti sah yang diakui, antara lain:
1. Bukti
tulisan
2. Bukti
dengan saksi-saksi
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah.
Akta
termasuk ke dalam bukti tulisan. Akta adalah suatu tulisan yang dibuat untuk
dipergunakan sebagai bukti dari suatu perbuatan hukum.[1]
Selain akta juga terdapat bukti tulisan berupa surat-surat lain yang bukan
berbentuk akta seperti resi, kuitansi, dan lain-lain. Suatu bukti tulisan dapat
dikatakan sebagai akta apabila:[2]
1. surat
tersebut ditandatangani
2. surat
tersebut memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu perikatan
3. surat
itu diperuntukkan sebagai alat bukti.
Berdasarkan
Pasal 1867 KUH Perdata akta sebagai bukti dapat berwujud akta otentik dan akta
di bawah tangan. Berdasarkan Pasal 1868 KUH perdata, suatu akta otentik adalah:
1. Akta
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Akta
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
3. Akta
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya di
tempat di mana akta itu dibuat
Terdapat empat faktor
yang menentukan kewenangan notaris untuk membuat akta otentik yaitu:[3]
a.
Berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya;
b.
Berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu
dibuatnya;
c.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana
akta itu dibuatnya;
d.
Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Berdasarkan
Pasal 165 HIR, akta
otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para
ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang apa yang
tercantum di dalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum didalamnya sebagai
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.
Apabila
ketentuan 1868 KUH Perdata tidak dipenuhi maka akta tersebut hanya memiliki
kekuatan pembuktian di bawah tangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1869 KUH
Perdata.
Akta otentik memiliki 2 fungsi yaitu:[4]
1.
Fungsi formal (Formalitas causa)
artinya suatu perbuatan hukum baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan
tidak dapat dibuktikan dengan bukti lainnya.
2.
Fungsi sebagai alat bukti (Probationis
causa) artinya akta otentik dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti
dikemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta.
Jadi,
selain berfungsi sebagai alat bukti dari suatu hubungan hukum, akta otentik
juga berfungsi sebagai syarat sahnya suatu perjanjian formil. Contohnya adalah
perjanjian kawin dan pendirian perseroan terbatas merupakan perjanjian formil
yang wajib dibuat dalam bentuk akta otentik di hadapan notaris.
Berbeda
dengan akta otentik, akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya hanya mengikat
hakim apabila diakui oleh para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1874 KUH Perdata
akta di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan seperti
surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain, tulisan
mana dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Akta di bawah tangan yang
dibuat hanya di antara para pihak tanpa campur tangan pejabat umum kekuatan
pembuktiannya hanya mengikat para pihak. Kekuatan pembuktiannya sempurna
seperti halnya akta otentik apabila para pihak mengakui isi akta serta tanda
tangan dalam akta tersebut (1875 KUH Perdata). Apabila terdapat penyangkalan
oleh salah satu pihak, pihak yang menggunakan akta di bawah tangan tersebut
yang harus membuktikan kebenaran dari akta di bawah tangan tersebut dan
penilaiannya diserahkan kepada hakim. Sesuai dengan ketentuan 1878 KUH Perdata
maka akta di bawah tangan tersebut hanya diterima sebagai suatu permulaan
pembuktian dengan tulisan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
dan Otentisitas Akta PPAT Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata
PPAT
sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pertanahan dibatasi
kewenangannya untuk membuat 8 jenis akta sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu:
1.
Jual-beli
2.
Tukar-menukar
3.
Hibah
4.
Pemasukan ke dalam perusahaan
5.
Pembagian hak bersama
6.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah
Hak Milik
7.
Pemberian Hak Tanggungan
8.
Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Di samping delapan kewenangan tersebut, PPAT juga
berwenang membuat perjanjian tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau Hunian
oleh orang Asing yang berkedudukan di Indonesia berdasarkan Pasal 3 ayat 22 PP
No.41 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau Hunian oleh orang
Asing yang berkedudukan di Indonesia.
Awal mula penggunaan blanko Akta PPAT dimulai pada Tahun
1961 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta
yang mulai berlaku pada tanggal 7 September 1961. Berdasarkan ketentuan Pasal 3
Pejabat pembuat Akta Tanah wajib menggunakan:
a. Untuk membuat akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal
1, pejabat harus mempergunakan pormulir-pormulir yang tercetak.
b. Dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran
Tanah, seorang pejabat dapat mempergunakan pormulir-pormulir yang distensil
atau ditik, dengan ketentuan, bahwa kertas yang dipakai untuk menstensil atau
mentik pormulir itu ialah kertas HVS. 70/80 gram yang berukuran sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 2 di atas.
Perkembangannya selanjutnya, blanko akta tetap
dipertahankan dengan berlakunya PMA Nomor 3 Tahun 1997. Di dalam PMA tersebut
ditegaskan bahwa akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blanko yang telah
disediakan atau dicetak oleh BPN atau instansi lain yang ditunjuk. Tanpa
menggunakan blanko, maka akta PPAT akan ditolak pendaftaran peralihan atau
pembebanan haknya oleh kantor pertanahan. Pasal 96 PMA Nomor 3 Tahun 1997
menegaskan fungsi blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai syarat untuk
dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Aturan
ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan
Blanko Akta PPAT. Pengaturan blanko Akta PPAT diatur dalam Peraturan Kepala
BPN. Sehingga tugas, kewenangan dan tanggung jawab pengadaan dan
pendistribusian blanko akta berada di tangan BPN.
Standarisasi akta PPAT dalam bentuk blanko yang
dilakukan pemerintah sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan PPAT sementara
dari kalangan camat yang tidak semuanya memahami hukum pertanahan. Namun bentuk
akta yang baku tersebut seringkali menimbulkan kesulitan bagi PPAT dari
kalangan notaris yang memahami hukum. Pada umumnya, para PPAT dari kalangan
notaris tidak sepenuhnya menggunakan Pasal-Pasal dalam blanko dengan cara
renvoii dan menggantinya dengan rumusan sendiri sesuai keinginan para pihak.
Kondisi seperti ini jelas tidak praktis. PPAT sebagai pejabat umum seharusnya
diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri seperti halnya Notaris,
bukannya mengisi blanko. PPAT dari kalangan notaris menghendaki agar mereka
diberi kebebasan menentukan sendiri bentuk, isi dan cara menuangkan klausula
dalam akta tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan praktek yang selalu
berkembang pesat. Bagi camat sebagai PPAT sementara yang kesulitan untuk
membuat akta sendiri dapat mengacu kepada bentuk baku akta yang telah
disediakan oleh pemerintah.
Pembuatan akta tanah oleh PPAT harus menggunakan
blanko-blanko tersebut, jika tidak pendaftaran peralihan hak atas tanah akan
ditolak oleh BPN. Akta yang dibuat PPAT selama ini tidak ditentukan bentuknya
oleh undang-undang, melainkan hanya sebatas Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri. Akta PPAT ditentukan secara baku dan seragam oleh menteri dimulai dari
pemberlakuan PMA Nomor 11 Tahun 1961, PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 38 ayat (2),
PMA Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 21 ayat (1). Walaupun
demikian, akta-akta tersebut tetap dikualifikasikan sebagai akta otentik
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 PP No.37 Tahun 1998. Di dalam Penjelasan Pasal
21 ayat (1) ditegaskan bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka
akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh menteri.
Dalam hal kelangkaan blanko pun PPAT tidak diberikan
kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui suratnya Nomor 640/1884 tertanggal 31 Juli 2003 telah memberikan
kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan mendesak seperti dalam
mengahadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta PPAT dengan membuat fotocopy
blanko akta sebagai ganti blanko akta yang dicetak, dengan syarat pada halaman
pertama setiap fotocopy blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan
cap dinas pada setiap halaman.
Bentuk Akta PPAT yang diatur dalam peraturan Menteri
dan Bentuk Akta Notaris yang diatur dalam bentuk undang-undang walaupun
memiliki kekuatan otentisitas yang sama, memiliki sejumlah perbedaan, yaitu :
1. Penghadap
dalam Akta Notaris harus berusia sekurang-kurangnya 18 Tahun atau telah kawin,
sedangkan dalam akta PPAT penghadap harus berusia sekurang-kurangnya harus
berusia 21 Tahun atau telah kawin; terkait dengan usia kedewasaan dalam hukum
kenotariatan dan kePPATan belum terdapat keseragaman standarisasi. Seharusnya
standar usia dewasa yang dipergunakan saat ini sejak diberlakukannya UU Nomor 1
Tahun 1974 adalah 18 Tahun.
2. Dalam
pembuatan akta Notaris terdapat larangan untuk membuat akta bagi orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat ketiga dengan Notaris
dan para saksi akta. Sedangkanm, dalam pembuatan Akta PPAT terdapat
larangan untuk membuat akta bagi orang
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat kedua dengan PPAT dan
para saksi akta.
3. Notaris
wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol Notaris. Dari minuta tersebut Notaris berwenang mengeluarkan Grosse,
salinan atau kutipan akta. Notaris juga
berwenang membuat akta dalam bentuk in originali. Sedangkan akta PPAT
dibuat dalam bentuk in originali sebanyak 2 rangkap yaitu lembar pertama
sebanyak 1 rangkap disimpan oleh PPAT, lembar kedua sebanyak 1 rangkap atau
lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, disampaikan kepada Kantor
Pertanahan untuk kepentingan pendaftaran. Dalam hal akta tersebut mengenai
pemberian kuasa Membebankan Hak Tanggungan disampaikan kepada pemegang kuasa
untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sedangkan kepada
pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.
Dalam prakteknya, pembuatan akta PPAT dalam bentuk
blanko juga dipaksakan kepada Notaris yang membuat SKMHT untuk hak atas tanah
yang terletak di luar tempat kedudukan PPAT. Pembuatan SKMHT oleh notaris
seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 38 UUJN, namun dalam prakteknya,
sejumlah kantor pertanahan menolak SKMHT yang tidak dibuat dalam bentuk blanko
oleh notaris. Praktek semacam ini harus segera diperbaiki karena menimbulkan
inkonsistensi dengan UUJN.
Pembuatan akta otentik PPAT dalam bentuk blanko ini
bertentangan dengan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta
dikualifikasikan sebagai akta otentik bentuknya harus diatur oleh undang-undang
dan dibuat oleh pejabat umum ditempat dimana ia berwenang. Pejabat umum
memiliki kewenangan verlijden akta. Verlijden harus diberi pengertian
kewenangan memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang
termasuk mempersiapkan, menyusun dan membuat akta sesuai dengan bentuk yang
ditentukan. PPAT sebagai pejabat umum seharusnya diberikan kewenangan untuk
membuat bukan mengisi blanko atau formulir yang disediakan BPN. Kewenangan
membuat ini harus diartikan sebagai kewenangan untuk menciptakan, menyusun,
melakukan, mengerjakan sendiri isi akta PPAT, bukannya mengisi kolom kosong di dalam formulir atau
blanko.
Kelemahan
dasar hukum jabatan PPAT yang hanya berbentuk peraturan pemerintah hingga saat
ini menyebabkan PPAT tidak memenuhi kualifikasi pejabat umum untuk membuat akta
otentik. Akta PPAT yang dibuat dengan cara mengisi blanko juga semakin
memperlemah kekuatan otentik akta PPAT tersebut. Namun dalam prakteknya saat
ini, secara analogi dan berdasar pada hukum kebiasaan PPAT dianggap sebagai
pejabat umum seperti halnya Notaris dan akta PPAT dianggap memiliki otentisitas
seperti halnya akta Notaris. Praktik seperti ini tidak dapat terus
dipertahankan karena tidak menjamin kepastian hukum.
[1]
Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban
Notaris dalam Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju. 2011, hal 99.
[2] Ibid., hal.101.
[3] Ibid. hal. 49-50.
[4] Pieter
Latumeten. Kebatalan dan Degradasi
Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya. Makalah disampaikan dalam
Kongres ke XX INI, Surabaya, 28 Januari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar