Rabu, 01 Agustus 2012

Tinjauan Pemberian Kuasa Dalam Bidang Kenotariatan


A.    Pengantar
Lembaga perwakilan telah dikenal pada masa Kerajaan Romawi dan keberadaannya sangat penting bagi kelancaran kehidupan lalu lintas perbuatan hukum di dalam masyarakat. Adakalanya seorang subjek hukum tidak dapat melaksanakan sendiri perbuatan hukumnya, baik karena alasan ketidakkecakapan, tidak berada di tempat, sakit, sibuk dan lain-lain. Bagi subjek hukum berupa badan hukum dalam melakukan perbuatan hukumnya hanya dapat dilakukan melalui organ-organnya secara perwakilan yang telah dilimpahkan kewenangannya dalam AD/ART.
Di dalam bidang hukum lembaga perwakilan memiliki makna sebagai suatu perbuatan hukum oleh seseorang yang bertindak untuk dan atas nama dan kepentingan yang diwakili dengan tidak mengurangi kewenangan yang diwakili untuk melakukan sendiri perbuatan hukum yang diwakilkan tersebut. Di dalam perwakilan ini, yang melakukan perbuatan hukum/ yang mewakili tidak terikat kepada perbuatan hukum tersebut, karena ia melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yang diwakili.
Di dalam doktrin terdapat 3 macam perwakilan, antara lain:
1.      Perwakilan berdasarkan ketentuan undang-undang yang terjadi diluar kehendak para pihak. Di dalam KUH Perdata perwakilan berdasarkan ketentuan undang-undang dapat dibedakan menjadi:
a.       Perwakilan karena pengurusan sukarela (zaakwarneming) 1354 KUH Perdata
b.      Perwakilan bagi orang tidak cakap, terdiri dari dua:
-       Perwakilan bagi anak di bawah umur yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua 307 KUH Perdata
-       Perwakilan bagi anak di bawah umur yang dilakukan oleh wali 385 KUH Perdata
2.      Perwakilan berdasarkan perjanjian yang terjadi atas kehendak dan kesepakatan para pihak, seperti perjanjian pemberian kuasa (lastgeving).
3.      Perwakilan organik yang wewenangnya timbul dari anggaran dasar organ/badan hukum, seperti Direksi yang mewakili PT, Pengurus yayasan yang mewakili Yayasan dan Pengurus koperasi yang mewakili Koperasi.
Di dalam tulisan ini, penulis akan membahas lebih dalam mengenai berbagai aspek- pemberian kuasa yang perlu diperhatikan dalam praktik kenotariatan. 


B.     Pembahasan
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk suatu akta otentik, akta di bawah tangan ataupun secara lisan (1793 KUH Perdata). Ketentuan undang-undang menentukan bahwa bentuk kuasa untuk melakukan tindakan hukum tertentu perlu dibuat dalam bentuk akta otentik. Pada umumnya, perjanjian formil yang harus dibuat dalam bentuk akta otentik, maka kuasanya juga sebaiknya dibuat dalam bentuk otentik.
Kuasa terdiri dari 2 macam, yaitu:
1.      Kuasa yang berdiri sendiri/ mandiri/ an sich: kuasa yang bersifat personlijk dan berakhir menurut ketentuan 1813 KUH Perdata, yaitu dengan meninggalnya pemberi kuasa  atau dicabut kembali.
2.      Kuasa yang berasal dari perjanjian pokok: kuasa yang tidak berakhir walaupun pemberi kuasa telah meninggal dan tidak dapat dicabut kembali dikarenakan pemberian kuasanya adalah untuk kepentingan penerima kuasa.
Di dalam praktik kenotariatan perlu dipahami perbedaan yang substansial mengenai lastgeving dan machtiging. Lastgeving merupakan tindakan hukum berganda yang berupa perjanjian, sedangkan machtiging adalah tindakan hukum sepihak.
Lastgeving/ pemberian perintah diatur dalam KUH Perdata pasal 1792 sampai dengan 1819. Lastgeving adalah perjanjian pemberian kuasa dimana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama pemberi menyelenggarakan suatu urusan (1792 KUH Perdata). Lastgeving sebagai suatu perjanjian maka harus memenuhi unsur-unsur  dan syarat sahnya perjanjian sebagai berikut berikut ini:
Unsur-unsur
a.       Adanya sepakat diantara dua pihak
b.      Kata sepakat yang tercapai bergantung kepada para pihak
c.       Kemauan para pihak untuk timbulny akibat hukum
d.      Akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal-balik
e.       Dengan mengindahkan persyaratan perundang-undangan
Syarat sah perjanjian 1320 KUH Perdata
a.       Kesepakatan
b.      Kecapakan
c.       Objek tertentu
d.      Causa yang halal
Di dalam pembuatan akta perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara notariil, maka pihak pemberi dan penerima kuasa harus hadir di hadapan notaris. Oleh karena lastgeving merupakan perjanjian, maka pencabutannya harus didasarkan pada kesepakatan dua belah pihak. Notaris tidak dapat membatalkan akta perjanjian pemberian kuasa semata-mata berdasarkan kehendak pemberi kuasa, namun juga harus didasarkan pada persetujuan penerima kuasa. Dalam hal lastgeving disubstitusikan, maka penerima substitusi bertanggungjawab secara langsung kepada pemberi kuasa.
Lastgeving ini perlu dibedakan dengan Machtiging. Machtiging / pemberian kuasa adalah pernyataan sepihak dari si pemberi kuasa yang menyebutkan tentang kehendaknya untuk diwakili. Machtiging bukan merupakan perjanjian pemberian kuasa. Machtiging adalah tindakan hukum sepihak yang timbul, berubah dan berakhirnya sebagai akibat dari satu pihak saja. Orang yang diserahi kuasa memiliki hak untuk menerima atau menolak untuk melaksanakan kuasa.
Di dalam praktik kenotariatan, pencabutan machtiging dapat dilakukan secara sepihak sepanjang pemberian kuasa belum diterima oleh penerima kuasa. Apabila orang yang diserahi kuasa telah menerimanya maka pemberian kuasa tersebut berubah menjadi lastgeving dan tidak dapat dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa. Dengan terjadinya machtiging akan menimbulkan suatu kuasa mewakili pada penerima kuasa yang dikenal juga dengan istilah Volmacht. Volmacht/ kuasa mewakili adalah kewenangan mewakili untuk melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa dalam bentuk tindakan hukum sepihak. Volmacht adalah keadaan hukum yang bersumber dari perbuatan hukum machtiging.
Pencabutan machtiging dilakukan dengan cara meminta kembali salinan akta pemberian kuasa. Dengan meminta kembali salinan akta pemberian kuasa, notaris dapat meyakini bahwa pemberian kuasa tersebut belum diterima dan dilaksanakan oleh penerima kuasa.   
Pada umumnya penerima kuasa berhak untuk menempatkan orang lain sebagai ganti dirinya untuk mewakili si pemberi kuasa. Penggantian ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: ondervolmacht dan substitusi. Ondervolmacht adalah penerima kuasa memberikan kuasa lagi kepada seorang penerima kuasa lain untuk mewakili pemberi kuasa. Penerima kuasa yang pertama terikat secara kontraktual baik kepada pemberi kuasa maupun kepada penerima kuasa yang kedua. Ia tetap berada dalam rangkaian, tidak meninggalkan ikatannya dengan pemberi kuasa. Penerima kuasa kedua hanya memiliki hubungan kuasa dengan penerima kuasa pertama, tidak adan hubungan hukum dengan pemberi kuasa. Sedangkan substitusi terjadi manakala seorang pemberi kuasa memberikan wewenang kepada penerima kuasa untuk melimpahkan kuasanya dan menempatkan penerima kuasa baru di tempat penerima kuasa yang semula. Akibatnya, antara pemberi kuasa dan pemegang kuasa yang baru terjadi ikatan langsung.  
Di dalam Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) pada umumnya terdapat suatu pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Calon penjual memberikan kuasa kepada calon pembeli untuk melaksanakan jual-beli dihadapan PPAT apabila syarat jual-beli telah terpenuhi seluruhnya. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tersebut adalah untuk melindungi kepentingan penerima kuasa yang menjadi tujuan diberikannya kuasa tersebut. Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali karena merupakan kuasa yang berasal dari suatu perjanjian pokok. Kuasa yang demikian merupakan pengecualian dari ketentuan 1813 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa salah satu sebab berakhirnya kuasa adalah penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Selain, tidak dapat ditarik kembali kuasanya, di dalam PPJB juga diperjanjikan bahwa kuasa tidak akan berakhir walaupun pemberi kuasa meninggal dunia, di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit. Para ahli waris pemberi kuasa tetap terikat dengan apa yang telah diperjanjikan pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Apabila pembeli sebagai penerima kuasa yang meninggal maka kuasa akan berakhir. Oleh karena kuasa bersifat personlijk, maka kuasa tersebut tidak dapat langsung beralih kepada ahli waris penerima kuasa. Namun berdasarkan klausula di dalam PPJB dapat diperjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila penerima kuasa meninggal, penjual berkewajiban memberikan kuasa yang baru kepada ahli waris penerima kuasa/pembeli.
Terkait dengan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dikenal pula istilah kuasa mutlak. Kuasa mutlak merupakan istilah yang diperkenalkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah jo. pasal 39 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.  Kuasa mutlak adalah kuasa yang tidak dapat ditarik kembali yang memberikan hak untuk menguasai, menggunakan tanah serta melakukan segala perbuatan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Kuasa mutlak tersebut dilarang di dalam perbuatan hukum mengenai tanah. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tidak digolongkan sebagai kuasa mutlak sepanjang objeknya bukan tanah.
Selbsteintrit diatur dalam pasal 1470 KUH Perdata yang melarang penerima kuasa menjadi pembeli pada penjualan di bawah tangan atas barang yang dikuasakan padanya untuk dijual olehnya. Selbsteintrit hanya dimungkinkan dalam hal pemberian kuasa untuk kepentingan penerima kuasa atau pelakasanaan prestasi yang merupakan hak penerima kuasa. Dalam Selbsteintrit harus terdapat alas hak yang sah dari pemberian kuasa serta isi kuasa yang diuraikan secara terperinci dan jelas supaya tidak terjadi konflik kepentingan, seperti pencantuman harga minimal penjualan objek.

C.    Kesimpulan
Dalam menuangkan berbagai macam perbuatan hukum dan perjanjian ke dalam bentuk akta otentik, notaris harus memahami karakteristik dari berbagai macam jenis pemberian kuasa supaya akta yang memuat kuasa tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan memiliki otentisitas yang sempurna. Apabila notaris keliru memahami konsep pemberian kuasa dalam pembuatan akta-akta notaril, akan mengakibatkan pemberian kuasa tersebut menjadi tidak sah. Hal demikian akan merugikan kepentingan pihak dan menimbulkan tuntutan ganti kerugian kepada notaris.   

D.    Daftar Pustaka
Buku-Buku
Soerjopraktinjo, Hartono. 1994. Perwakilan Berdasarkan Kehendak. Yogyakarta: Mustika Wikasa.
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya. 2008.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Laporan
Laporan magang di Kantor Notaris dan PPAT Tri Agus Heriyono, SH tanggal 21 Maret 2012 dan 2 April 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar