A. Pengantar
Lembaga perwakilan telah dikenal pada masa Kerajaan Romawi dan
keberadaannya sangat penting bagi kelancaran kehidupan lalu lintas perbuatan
hukum di dalam masyarakat. Adakalanya seorang subjek hukum tidak dapat melaksanakan
sendiri perbuatan hukumnya, baik karena alasan ketidakkecakapan, tidak berada
di tempat, sakit, sibuk dan lain-lain. Bagi subjek hukum berupa badan hukum
dalam melakukan perbuatan hukumnya hanya dapat dilakukan melalui organ-organnya
secara perwakilan yang telah dilimpahkan kewenangannya dalam AD/ART.
Di dalam bidang hukum lembaga perwakilan memiliki makna sebagai suatu
perbuatan hukum oleh seseorang yang bertindak untuk dan atas nama dan
kepentingan yang diwakili dengan tidak mengurangi kewenangan yang diwakili
untuk melakukan sendiri perbuatan hukum yang diwakilkan tersebut. Di dalam
perwakilan ini, yang melakukan perbuatan hukum/ yang mewakili tidak terikat
kepada perbuatan hukum tersebut, karena ia melakukan perbuatan hukum untuk dan
atas nama yang diwakili.
Di dalam doktrin terdapat 3 macam perwakilan, antara lain:
1.
Perwakilan berdasarkan ketentuan
undang-undang yang terjadi diluar kehendak para pihak. Di dalam KUH Perdata
perwakilan berdasarkan ketentuan undang-undang dapat dibedakan menjadi:
a.
Perwakilan karena pengurusan
sukarela (zaakwarneming) 1354 KUH Perdata
b.
Perwakilan bagi orang tidak cakap,
terdiri dari dua:
-
Perwakilan bagi anak di bawah umur
yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua 307 KUH
Perdata
-
Perwakilan bagi anak di bawah umur
yang dilakukan oleh wali 385 KUH Perdata
2.
Perwakilan berdasarkan perjanjian
yang terjadi atas kehendak dan kesepakatan para pihak, seperti perjanjian
pemberian kuasa (lastgeving).
3.
Perwakilan organik yang
wewenangnya timbul dari anggaran dasar organ/badan hukum, seperti Direksi yang
mewakili PT, Pengurus yayasan yang mewakili Yayasan dan Pengurus koperasi yang
mewakili Koperasi.
Di dalam tulisan ini, penulis akan membahas lebih dalam mengenai
berbagai aspek- pemberian kuasa yang perlu diperhatikan dalam praktik
kenotariatan.
B. Pembahasan
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk
suatu akta otentik, akta di bawah tangan ataupun secara lisan (1793 KUH
Perdata). Ketentuan undang-undang menentukan bahwa bentuk kuasa untuk melakukan
tindakan hukum tertentu perlu dibuat dalam bentuk akta otentik. Pada umumnya,
perjanjian formil yang harus dibuat dalam bentuk akta otentik, maka kuasanya
juga sebaiknya dibuat dalam bentuk otentik.
Kuasa terdiri dari 2 macam, yaitu:
1.
Kuasa yang berdiri sendiri/
mandiri/ an sich: kuasa yang bersifat
personlijk dan berakhir menurut ketentuan 1813 KUH Perdata, yaitu dengan
meninggalnya pemberi kuasa atau dicabut
kembali.
2.
Kuasa yang berasal dari perjanjian
pokok: kuasa yang tidak berakhir walaupun pemberi kuasa telah meninggal dan
tidak dapat dicabut kembali dikarenakan pemberian kuasanya adalah untuk
kepentingan penerima kuasa.
Di dalam praktik kenotariatan perlu dipahami
perbedaan yang substansial mengenai lastgeving dan machtiging. Lastgeving
merupakan tindakan hukum berganda yang berupa perjanjian, sedangkan machtiging
adalah tindakan hukum sepihak.
Lastgeving/ pemberian perintah diatur dalam KUH
Perdata pasal 1792 sampai dengan 1819. Lastgeving adalah perjanjian pemberian
kuasa dimana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya
untuk atas nama pemberi menyelenggarakan suatu urusan (1792 KUH Perdata). Lastgeving
sebagai suatu perjanjian maka harus memenuhi unsur-unsur dan syarat sahnya perjanjian sebagai berikut
berikut ini:
Unsur-unsur
a.
Adanya sepakat diantara dua pihak
b.
Kata sepakat yang tercapai
bergantung kepada para pihak
c.
Kemauan para pihak untuk timbulny
akibat hukum
d.
Akibat hukum untuk kepentingan
yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal-balik
e.
Dengan mengindahkan persyaratan perundang-undangan
Syarat sah perjanjian 1320 KUH Perdata
a.
Kesepakatan
b.
Kecapakan
c.
Objek tertentu
d.
Causa yang halal
Di dalam pembuatan akta perjanjian pemberian
kuasa yang dibuat secara notariil, maka pihak pemberi dan penerima kuasa harus
hadir di hadapan notaris. Oleh karena lastgeving merupakan perjanjian, maka
pencabutannya harus didasarkan pada kesepakatan dua belah pihak. Notaris tidak
dapat membatalkan akta perjanjian pemberian kuasa semata-mata berdasarkan
kehendak pemberi kuasa, namun juga harus didasarkan pada persetujuan penerima
kuasa. Dalam hal lastgeving disubstitusikan, maka penerima substitusi
bertanggungjawab secara langsung kepada pemberi kuasa.
Lastgeving ini perlu dibedakan dengan Machtiging.
Machtiging / pemberian kuasa adalah pernyataan sepihak dari si pemberi kuasa
yang menyebutkan tentang kehendaknya untuk diwakili. Machtiging bukan merupakan
perjanjian pemberian kuasa. Machtiging adalah tindakan hukum sepihak yang
timbul, berubah dan berakhirnya sebagai akibat dari satu pihak saja. Orang yang
diserahi kuasa memiliki hak untuk menerima atau menolak untuk melaksanakan
kuasa.
Di dalam praktik kenotariatan, pencabutan
machtiging dapat dilakukan secara sepihak sepanjang pemberian kuasa belum
diterima oleh penerima kuasa. Apabila orang yang diserahi kuasa telah
menerimanya maka pemberian kuasa tersebut berubah menjadi lastgeving dan tidak
dapat dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa. Dengan terjadinya machtiging
akan menimbulkan suatu kuasa mewakili pada penerima kuasa yang dikenal juga
dengan istilah Volmacht. Volmacht/ kuasa mewakili adalah kewenangan mewakili
untuk melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa
dalam bentuk tindakan hukum sepihak. Volmacht adalah keadaan hukum yang
bersumber dari perbuatan hukum machtiging.
Pencabutan machtiging dilakukan dengan cara
meminta kembali salinan akta pemberian kuasa. Dengan meminta kembali salinan
akta pemberian kuasa, notaris dapat meyakini bahwa pemberian kuasa tersebut
belum diterima dan dilaksanakan oleh penerima kuasa.
Pada umumnya penerima kuasa berhak untuk
menempatkan orang lain sebagai ganti dirinya untuk mewakili si pemberi kuasa.
Penggantian ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: ondervolmacht dan
substitusi. Ondervolmacht adalah penerima kuasa memberikan kuasa lagi kepada
seorang penerima kuasa lain untuk mewakili pemberi kuasa. Penerima kuasa yang
pertama terikat secara kontraktual baik kepada pemberi kuasa maupun kepada penerima
kuasa yang kedua. Ia tetap berada dalam rangkaian, tidak meninggalkan ikatannya
dengan pemberi kuasa. Penerima kuasa kedua hanya memiliki hubungan kuasa dengan
penerima kuasa pertama, tidak adan hubungan hukum dengan pemberi kuasa.
Sedangkan substitusi terjadi manakala seorang pemberi kuasa memberikan wewenang
kepada penerima kuasa untuk melimpahkan kuasanya dan menempatkan penerima kuasa
baru di tempat penerima kuasa yang semula. Akibatnya, antara pemberi kuasa dan
pemegang kuasa yang baru terjadi ikatan langsung.
Di dalam Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB)
pada umumnya terdapat suatu pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Calon
penjual memberikan kuasa kepada calon pembeli untuk melaksanakan jual-beli
dihadapan PPAT apabila syarat jual-beli telah terpenuhi seluruhnya. Kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali tersebut adalah untuk melindungi kepentingan
penerima kuasa yang menjadi tujuan diberikannya kuasa tersebut. Kuasa yang
tidak dapat dicabut kembali karena merupakan kuasa yang berasal dari suatu
perjanjian pokok. Kuasa yang demikian merupakan pengecualian dari ketentuan
1813 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa salah satu sebab berakhirnya kuasa
adalah penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Selain, tidak dapat ditarik
kembali kuasanya, di dalam PPJB juga diperjanjikan bahwa kuasa tidak akan
berakhir walaupun pemberi kuasa meninggal dunia, di bawah pengampuan atau
dinyatakan pailit. Para ahli waris pemberi kuasa tetap terikat dengan apa yang
telah diperjanjikan pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Apabila pembeli
sebagai penerima kuasa yang meninggal maka kuasa akan berakhir. Oleh karena
kuasa bersifat personlijk, maka kuasa tersebut tidak dapat langsung beralih
kepada ahli waris penerima kuasa. Namun berdasarkan klausula di dalam PPJB
dapat diperjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila penerima kuasa meninggal,
penjual berkewajiban memberikan kuasa yang baru kepada ahli waris penerima
kuasa/pembeli.
Terkait dengan kuasa yang tidak dapat ditarik
kembali dikenal pula istilah kuasa mutlak. Kuasa mutlak merupakan istilah yang
diperkenalkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang
Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah jo. pasal 39
huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Kuasa mutlak adalah kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali yang memberikan hak untuk menguasai, menggunakan
tanah serta melakukan segala perbuatan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh
pemegang haknya. Kuasa mutlak tersebut dilarang di dalam perbuatan hukum
mengenai tanah. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali tidak digolongkan
sebagai kuasa mutlak sepanjang objeknya bukan tanah.
Selbsteintrit diatur dalam pasal 1470 KUH
Perdata yang melarang penerima kuasa menjadi pembeli pada penjualan di bawah
tangan atas barang yang dikuasakan padanya untuk dijual olehnya. Selbsteintrit
hanya dimungkinkan dalam hal pemberian kuasa untuk kepentingan penerima kuasa
atau pelakasanaan prestasi yang merupakan hak penerima kuasa. Dalam
Selbsteintrit harus terdapat alas hak yang sah dari pemberian kuasa serta isi
kuasa yang diuraikan secara terperinci dan jelas supaya tidak terjadi konflik
kepentingan, seperti pencantuman harga minimal penjualan objek.
C. Kesimpulan
Dalam menuangkan berbagai macam perbuatan hukum
dan perjanjian ke dalam bentuk akta otentik, notaris harus memahami
karakteristik dari berbagai macam jenis pemberian kuasa supaya akta yang memuat
kuasa tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan
memiliki otentisitas yang sempurna. Apabila notaris keliru memahami konsep
pemberian kuasa dalam pembuatan akta-akta notaril, akan mengakibatkan pemberian
kuasa tersebut menjadi tidak sah. Hal demikian akan merugikan kepentingan pihak
dan menimbulkan tuntutan ganti kerugian kepada notaris.
D. Daftar Pustaka
Buku-Buku
Soerjopraktinjo, Hartono. 1994. Perwakilan Berdasarkan Kehendak. Yogyakarta:
Mustika Wikasa.
Budiono, Herlien. Kumpulan
Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya. 2008.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Laporan
Laporan magang di Kantor Notaris dan PPAT Tri Agus Heriyono, SH tanggal
21 Maret 2012 dan 2 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar