Senin, 18 Juni 2012

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DITINJAU DARI HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DITINJAU DARI
HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM


PENDAHULUAN

Latar Belakang

       Anak merupakan generasi muda pewaris suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi kuat, makmur dan sejahtera apabila generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hak-haknya. Pembinaan anak merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah serta anak itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup serta pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan mental anak sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses pembangunan apabila tidak ada upaya perlindungan terhadap anak maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ini akan mengganggu jalannya pembangunan itu sendiri, mengganggu ketertiban dan keamanan negara.
         Kedudukan anak luar kawin dalam kehidupan sehara-hari adalah serba sulit, di satu pihak karena status yang demikian oleh sebagian msyarakat mereka dipandang rendah dan hina, di lain pihak dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan masih mendapat pembatasan-pembatasan.
          Manusia sejak lahir menjadi pendukung hak dan kewajiban. Begitu juga dengan anak luar kawin, mereka juga sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dengan anggota masyarakat lainnya. Karena itu anak luar kawin juga berhak mendapatkan perlindungan hukum termasuk dalam bidang keperdataannya seperti yang dapat dinikmati oleh anak-anak lainnya. Tidak boleh ada diskriminasi dalam hal menyangkut hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum.
         Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai generasi pewaris untuk pembangunan dan memimpin negara di kemudian hari, namun dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum menikmati haknya.
            Menurut pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, kedudukan anak luar kawin akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini belum terwujud. Hal demikian berarti sarana hukum yang tersedia bagi penyelesaian masalah anak luar kawin sampai saat ini belum memadai.


Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka, Penulis akan membahas mengenai :
Bagaimanakah hubungan hukum anak luar kawin dengan orang tuanya ditinjau dari hukum perdata dan hukum islam serta bagaimanakah kedudukan dari anak luar kawin dalam hal pewarisan ditinjau dari hukum perdata dan hukum islam.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Hubungan Hukum Anak Luar Kawin dengan Orang Tuanya
    A.    Menurut Hukum Perdata

              Adanya hubungan hukum antara seorang anak dengan orang lain menimbulkan hak dan      kewajiban pada kedua belah pihak. Keadaan yang demikian juga berlaku pada hubungan yang     bersifat kekeluargaan. Seorang anak berhak mendapatkan nafkah dari orang tuanya sampai anak     itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Sebaliknya apabila anak tersebut telah dewasa ia wajib     memelihara menurut kemampuan orang tua dan keluarganya dalam garis lurus ke atas bila     mereka membutuhkannya. Maka, hak dan kewajiban ini selalu ada pada orang-orang yang     antara mereka satu sama lain mempunyai hubungan hukum.
        Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau sebelum 180 hari dari     perkawinan orang tuanya disebut anak luar kawin (tidak sah) begitu juga dengan anak yang     dilahirkan 300 hari setelah perkawinan bubar adalah tidak sah ( Pasal 255 KUH Perdata).
        Agar anak luar kawin tersebut mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan ayahnya,     maka menurut ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, ayah ibunya harus melakukan tindakan     pengakuan. Apabila ayah ibunya tidak melakukan tindakan pengakuan maka dapat      menyebabkan anak tersebut tidak ber-ayah dan tidak ber-ibu.
        Sedangkan menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,     anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan     keluarga ibunya. Tetapi tidak menyebutkan tentang boleh menyelidiki siapa bapak si anak. Dan     nampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak     luar kawin, seperti KUH Perdata yang tegas menyatakan (Hadikusuma, 1990:134). 
        Memperhatikan ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dapat     diketahui bahwa anak luar kawin demi hukum mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu     dan keluarga ibunya tanpa diperlukan suatu perbuatan hukum untuk itu. Hal ini berbeda dengan     ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, di mana untuk memperoleh status agar memiliki hubungan     hukum antara ayah dan ibu dengan anak luar kawin haruslah anak itu diakui oleh ayah dan     ibunya. Ini berarti status diperoleh si anak tidak dengan sendirinya karena kelahiran, tetapi     karena adanya pengakuan dari ayah dan ibunya.
        Dengan adanya hubungan hukum itu barulah timbul kewajiban timbal balik antara anak     luar kawin dengan orang tuanya. Hubungan ini meliputi dalam hal memberi nafkah, perwalian,     izin kawin, hak mewaris dan lain-lain.
        Apabila pengakuan tidak dilakuka, apakah dengan cara sukarela atau dengan cara     paksaan, maka hubungan hukum itu tidak pernah ada dengan segala akibat yang merugikan bagi     si anak terutama selagi ia msih di bawah umur, tanpa adanya jaminan orang tuanya. Nasib anak     itu selanjutnya terserah kepada belas kasihan perorangan dalam masyarakat atau diselamatkan     oleh campur tangan pemerintah.

     B.   Menurut Hukum Islam

        Hukum Islam telah merumuskan bahwa semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan     yang sah disebut dengan anak zina. Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari     seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'.
         Islam menetapkan tenggang waktu untuk menentukan sah atau tidaknya seorang anak.     Apabila ada seorang perempuan melahirkan anak dalam keadaan pernikahan yang sah dengan     seorang laki-laki, akan tetapi jarak waktu antara terjadinya pernikahan dengan saat melahirkan     kurang dari 6 (enam) bulan, maka anak yang dilahirkan itu bukanlah anak yang sah bagi suami     ibunya. Demikian pula apabila seorang janda yang ditinggalkan mati oleh suaminya kemudian     melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun dari kematian suaminya, maka anak yang     dilahirkan bukanlah anak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut.
        Dalam hukum Islam anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan     perdata dengan pihak ibunya, baik dalam hal pemeliharaan, perwwalian, maupun dalam hal     pewarisan. Hubungan tersebut diperoleh dengan sendirinya, artinya tidak diperlukan suatu     perbuatan hukum tertentu. Seperti ditentukan dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, anak     yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan     keluarga ibunya.

2.  Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hal Pewarisan
      A.  Menurut Hukum Perdata
    Hukum Perdata mengadakan 3 (tiga) golongan terhadap anak-anak :
     1. Anak sah, yaitu yang dilahirkan dalam perkawinan,
            2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi diakui oleh ayah atau ibunya. Pertalian                    kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak itu.
             3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan tidak diakui oleh ayahnya maupun ibunya.             Menurut hukum tidak punya ibu.

        Anak luar kawin, yang bapak ibunya tidak boleh kawin karena dekatnya hubungan darah     (anak sumbang), dan anak luar kawin yang berasal dari hubungan laki-laki dengan perempuan     yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan (anak zina) tidak ada kemungkinan untuk     diakui oleh bapak dan atau ibunya. Anak seperti ini, tidak berhak sama sekali atas harta warisan     dari orang tuanya dan sebanyak-banyaknya hanya memperoleh sekedar nafkah yang cukup     untuk hidup.
        Terhadap anak luar kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka     juga tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya. Oleh karena itu anak luar kawin yang tidak     diakui tidak akan mewarisi dari siapapun juga.
        Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan pihak orang yang     mengakuinya. Adapun dengan keluarga sedarah dari orang tua yang mengakui tersebut mereka     tidak mempunyai hubungan hukum sama sekali. Jadi mereka tidak berhak terhadap barang-    barang keluarga orang tua yang mengakuinya (Pasal 872 KUH Perdata). Dengan pengecualian,     apabila tidak meninggalkan ahli waris sampai dengan derajat yang mengizinkan pewarisan     maka anak luar kawin tersebut berhak menuntut seluruhnya harta warisan dengan     mengenyampingkan negara (Pasal 873 KUH Perdata).
        Anak luar kawin dapat disahkan dengan perkawinan orang tuanya atau dengan     perkawinan orang tuanya atau dengan surat pengesahan. Jika pengesahan karena perkawinan     orang tuanya maka keadaan anak tersebut sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan.
    Hal ini berarti ia berhak penuh atas warisan yang terbuka dari peninggalan orang tuanya. Jika     pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka dalam hal pewarisan tidak boleh     merugikan anak-anak sah yang ada sebelum pengesahan itu dilakukan.

     B.   Menurut Hukum Islam

        Hukum Islam menetapkan bahwa anak menempati garis kewarisan pertama dalam hal     menerima warisan dari orang tuanya. Mengenai anak zina sebagai anak tidak sah hanya     mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan tidak     mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan kerabat ayahnya.    
        Oleh karena anak zina, baik dia laki-laki ataupun perempuan tidak diakui hubungan     darahnya dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi harta ayahnya dan tidak pula dari seorang     kerabat ayahnya sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya lantaran tidak ada sebab pusaka     mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena itu anak zina itu hanya diakui     hubungan darahnya dengan ibunya, maka dia mewarisi harta ibunya sebagaimana ia mewarisi     kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. 
        Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan     bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan     ibunya dan keluarga pihak ibunya. Jelaslah bahwa anak yang tidak bernasab kepada ayahnya     tidak dapat saling  mewarisi. 


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan yang telah penulis kemukakan diatas maka, dapat disimpulkan :
Agar anak luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah atau ibunya, maka menurut     Pasal 280 KUH Perdata, ayah dan ibunya harus melakukan tindakan pengakuan. Apabila     tindakan pengakuan tidak dilakukan akan mengakibatkan anak tersebut tidak ber-ayah dan ber-    ibu. Sedangkan untuk anak zina dan anak sumbang tidak ada kemungkinan untuk diakui. Anak     luar kawin menurut Undang-Undang Perkawinan demi hukum mempunyai hubungan perdata     dengan ibunya.
Dalam Hukum Islam, anak luar kawin (zina) hanya mempunyai hubungan perdata dengan     ibunya.
Anak luar kawin yang diakui akan mewarisi dari orang yang mengakuinya dan anak luar kawin     yang tidak diakui tidak akan mewarisi siapapun juga.
Menurut Hukum Islam, anak luar kawin (zina) hanya mewarisi dari ibu dan pihak ibunya.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Najwan, Jhoni. Hukum Kewarisan Islam. Baitul Hikmah, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar