Senin, 18 Juni 2012

DEFINISI DAN FUNGSI TEORI HUKUM


DEFINISI DAN FUNGSI TEORI HUKUM

            Istilah teori hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu theory of law. Dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie. Menurut Muchyar Yahya teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas, dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang bersangkutan.[1] Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah : “suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan”.[2]
            Pengertian teori hukum dalam definisi ini bermakna ganda karena teori hukum dinyatakan sebagai produk dan proses. Pengertian ini tidak jelas karena teori hukum tidak hanya mengkaji tentang norma, tetapi juga hukum dalam kenyataannya. Teori hukum bukanlah filsafat hukum dan bukan pula ilmu hukum dogmatik atau dogmatik hukum. Hal ini tidak berarti bahwa teori hukum tidak filosofis atau tidak berorientasi pada ilmu hukum dogmatik : teori hukum ada diantaranya.[3] Maka, teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisir tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun positif dengan menggunakan metode interdisipliner. Dikatakan secara kritis karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran. Berbeda dengan dogmatik hukum yang jawaban pertanyaan atau permasalahannya sudah ada di dalam hukum positif.
Ada 2 (dua) fungsi teori hukum, yaitu fungsi secara teori dan praktis :
1.      Manfaat secara teoritis adalah sebagai alat dalam menganalisis dan mengkaji penelitian-penelitian hukum yang akan dikembangkan oleh para ahli hukum, baik itu yang dilakukan dalam penelitian disertasi, penelitian hibah bersaing, penelitian hibah kompetensi, daan lainnya.
2.      Manfaat secara praktis adalah sebagai alat atau instrumen dalam mengkaji dan menganalisis fenomena-fenomena yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, bangsa, dan negara.[4]

CIRI TEORI HUKUM

            Teori hukum lahir pada perjalanan abad ke-20. Teori hukum timbul dan merupakan kelanjutan dari ajaran hukum umum. Namun, walaupun teori hukum dianggap sebagai kelanjutan ajaran hukum umum, teori hukum memiliki tujuan dan tingkat kemandirian yang berbeda. Sehingga secara khusus teori hukum memiliki ciri yaitu sebagai berikut :
1.      Dalam tujuannya teori hukum menguraikan hukum secara ilmiah positif,
2.      Teori hukum telah diakui secara luas sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri,
3.      Objek kajian teori hukum adalah mempelajari persoalan-persoalan fundamental dalam kaitan dengan hukum positif, seperti sifat kaidah hukum, definisi hukum, hubungan antara hukum dan moral, dan sejenisnya,
4.       Teori hukum menggunakan metode interdisipliner, yang berarti teori hukum tidak terikat pada satu metode saja, sehingga sifatnya lebih luas dan bebas.

KEBENARAN TEORITIK DAN KEBENARAN HUKUM

Penggunaan teori apabila dicermati memperlihatkan trend tertentu, paling tidak teori selalu dikaitkan dengan sesuatu yang abstrak teoritis, yang pada tataran tertentu menimbulkan keragaman tafsir bahkan antipati serta ejekan didalamnya. Istilah “teori” sering digunakan untuk mencela mereka yang selalu berbicara pada tataran abstrak, sulit dipahami dan tidak pernah berpijak dialam kenyataan atau empirik.
            Terdapat pemahaman bahwa istilah “teori’ bukanlah sesuatu yang harus dijelaskan, tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami maknanya. Bahkan teori sering ditafsirkan sebagai istilah tanpa makna apabila tidak berkait dengan kata yang menjadi padanannya, misalnya teori ekonomi, teori sosial, teori hukum dan lainnya, sehingga kata yang menjadi padanannya menjadi (seolah-olah) lebih bermakna ketimbang istilah atau makna teori itu sendiri.[5]
            Didalam kebenaran secara teoritik adanya gabungan ‘proposisi’ yang secara logis terkait satu sama lain dan diuji serta disajikan secara sistematis, serta dibangun dan dikembangkan melalui research dan dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena. Maka, kebenaran teoritik senantiasa berkaitan dengan apa yang disebut realitas.
            Beberapa ahli berkeyakinan, sebuah teori dapat dibuktikan benar atau salah. Hal ini (kebanyakan) didasarkan kepada pertimbangan filsafat dan logika, sedangkan selebihnya berdasarkan pada analisis terperinci tentang sejarah (ilmu) dan tentang teori-teori ilmiah modern. Pada dasarnya, tidak semua pandangan ahli dan hasil pengamatannya akan melahirkan sebuah teori yang dapat diterima secara umum. Pandangan ahli dan hasil pengamatannya akan dapat menjadi sebuah teori apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Sebuah teori harus cermat, ini mengandung arti bahwa akibat-akibat yang dapat diderivasi dari dalam teori itu harus sesuai dengan hasil-hasil eksperimen dan pengamatan-pengamatan yang dilakukan.
2.      Sebuah teori harus sederhana, maksud sesungguhnya sebuah teori adalah untuk menciptakan ketertiban dalam suatu keseluruhan unsur yang kacau balau. Suatu teori akan memperlihatkan pertalian suatu fenomena dengan jelas. Unsur kesederhanaan ini menjelaskan misalnya daya tarik yang besar dari pandangan Kelsen tentang struktur dari sistem-sistem hukum, daya tarik yang sangat rendah terbatas dari berbagai teori dan dari logika hukum formal.
3.      Sebuah teori harus konsisten. Ini berarti bahwa teori tidak boleh memuat atau mengandung pertentangan internal atau tidak boleh membawa pada kesimpulan-kesimpulan yang saling bertentangan.
4.      Sebuah teori harus memiliki lingkup jangkauan yang besar (luas). Sebuah teori harus dapat menjelaskan lebih banyak ketimbang yang mungkin dihasilkan sebelumnya dengan pengamatan sederhana atau dengan teori-teori yang lebih terbatas.
5.      Sebuah teori harus produktif dalam hubungannya dengan temuan-temuan penelitian yang baru.
6.      Sebuah teori harus mengungkapkan atau relasi-relasi baru di antara gejala-gejala yang sudah dikenal yang sebelumnya tidak teramati.[6]  

Selain itu menurut Ahmad Mulyana mengemukakan ada 5 (lima) patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori. Kelima patokan tersebut yaitu :
1.      Cakupan teoritis. Teori yang dibangun harus memiliki keberlakuan umum.
2.      Kesesuaian. Isi teori harus sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teoritis yang diteliti.
3.      Heuristic teori yang dibentuk mempunyai potensi untuk menghasilkan penelitian atau teori-teori lainnya yang berkaitan.
4.      Validity, teori harus memiliki konsistensi internal dan eksternal.
5.      Parsimony, teori harus memiliki kesederhanaan.

Pada hakikatnya, tujuan ilmu pengetahuan adalah mencari kebenaran. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, ada 3 (tiga) jenis teori yang menganalisis tentang kebenaran. Ketiga jenis teori itu meliputi sebagai berikut :
1.      Teori koherensi (Konsistensi)
Teori ini dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles, teori ini berpendapat bahwa :
“suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten (searah) dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar”.
2.      Teori Korespondensi
Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel. Teori ini berpendapat bahwa : 
“suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut”
3.      Teori Pragmatis
Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Pierce. Kemudian teori ini dikembangkan oleh beberapa ahli yaitu George Herbert Mead, William James, John Dewey dan C.I. Lewis. Teori ini berpendapat bahwa :
“kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria, apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.[7]

URGENSI TEORI HUKUM
            Permulaan perkembangan teori hukum dipengaruhi oleh keberhasilan dan kemajuan pesat yang diilhami oleh ilmu-ilmu pengetahuan alam yang menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan alam positif, para ahli hukum pada waktu itu merasa perlu adanya disiplin hukum yang tidak terlalu teoritis abstrak dan tidak terlalu praktis konkret, yang terletak di antara filsafat hukum dan dogmatik hukum.
            Pendekatan fenomena semacam ini disebut ajaran hukum umum. Dimana ajaran hukum umum bertujuan mengadakan penelitian asas-asas hukum seperti utang yang harus dibayar, pacta sunt servanda, pengertian hukum seperti hak milik dan pembedaan (hukum privat-hukum publik) yang dianggap pada umumnya bagian mutlak setiap sistem hukum. Ajaran hukum umum secara a priori bertitik tolak pada anggapan adanya ciri yang bersifat universal pada semua sistem hukum.
            Teori hukum merupakan ilmu disiplin tersendiri diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Yang memiliki perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam penerapan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang hukum dalam kenyataan kemasyarakatan. Sehingga yang menjadi urgensi dalam teori hukum adalah teori hukum memiliki kegunaan antara lain:
1.      Menjelaskan hukum dengan cara menafsirkan sesuatu arti/pengertian, sesuatu syarat atau unsur sah nya suatu peristiwa hukum dan hierarki peraturan hukum,
2.      Menilai suatu peristiwa hukum,
3.      Memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi.
Menurut Radbruch, teori hukum memiliki tugas membuat jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Sedangkan menurut Kelsen bahwa teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

SUMBER-SUMBER TEORI HUKUM
            Mengenai sumber-sumber teori hukum, hal ini bersumber dari pendapat para sarjana hukum dan bagaimana mereka memaknai hukum itu sendiri tergantung dari aliran mana yang mereka anut untuk menjelaskan mengenai apa itu hukum. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Radbruch bahwa, tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.[8]  Sebagai contoh Hans Kelsen yang mengajarkan teori hukum murni bahwa teori hukum murni adalah teori hukum umum yang berusaha untuk menjawab bagaimana hukum itu dibuat. Ia mengatakan murni karena teori tersebut mengarahkan pengetahuan pada hukum itu sendiri karena teori tersebut menghilangkan semua yang tidak menjadi objek kognisi yang sebenarnya ditetapkan sebagai hukum tersebut, yakni dengan membebaskan ilmu hukum dari semua elemen asing.
            Karl marx, mengatakan bahwa hukum itu merupakan alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Hukum itu hanya melayani kepentingan ‘orang yang berpunya’ dalam hal ini yang dimaksud adalah pemilik modal. Salah satu teori Karl Marx yang terkenal adalah hukum ada dalam bingkai infra-struktur, supra-struktur. Dimana yang merupakan infra-struktur adalah fakta hubungan-hubungan ekonomi masyarakat. Sedangkan yang merupakan supra-struktur adalah kelembagaan-kelembagaan sosial non ekonomi, seperti hukum, agama, sistem politik, corak  budaya, dan lain sebagainya.


[1] Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Hlm. 87
[2] Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 53
[3] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., Hlm. 86
[4] Salim HS, Op.Cit., Hlm. 18
[5] Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 19.
[6] Salim HS, Op.Cit., Hlm. 11.
[7] Salim HS, Op.Cit., Hlm. 14.
[8] Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Op.Cit., Hlm. 45.

1 komentar: