Senin, 18 Juni 2012

LOGIKA HUKUM


LOGIKA HUKUM

            Logika berasal dari kata “logos” yang berarti “kata” sebagai manifestasi (pengejawantahan) pikiran manusia atau kata sebagai ungkapan pikiran manusia dalam bentuk yang menaati kaidah-kaidah berpikir.[1]
            Logika merupakan suatu ajaran tentang berpikir tertib dan benar, atau merupakan ilmu penarikan kesimpulan tanpa meninggalkan kaidah atau hokum berpikir dan tidak mempermasalahkan kebenaran isi, tetapi mempermasalahkan tata tertib yang menjadi panutan cara berpikir agar memperoleh hasil yang benar.[2]
            Logika formal atau yang dikenal juga sebagai logika hokum mempelajari segi formal atau structural dari penalaran. Logika hokum mempelajari asas-asas, kaidah-kaidah, atau hokum berpikir yang harus ditaati agar kita berpikir dengan tepat dan benar, dan mencapai kebenaran. Logika hokum meneliti tentang cara-cara atau dalil-dalil berpikir menurut hokum : argumentasi yuridis.[3] Logika formal menyelidiki apakah suatu pernyataan itu keseluruhannya “logis” (berlaku atau tidak).
            Logika hokum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagaimana peraturan itu dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hokum. Logika hokum memiliki fungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran itu merupakan suatu bentuk dari suatu pemikiran. Dalam penalaran itu sendiri bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan suatu konsep (conceptus), diikuti oleh perbuatan pernyataan (prositio), lalu diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).
            Logika dari ilmu hokum yang disusun oleh hokum mencakup beberapa prinsip diantaranya; pertama, prinsip eksklusi, yaitu merupakan suatu teori yang memberikan pra anggapan bahwa sejumlah putusan independen dari badan legislative merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka dapat mengidentifikasi system. Kedua, prinsip subsumption, yang merupakan prinsip dimana berdasarkan prinsip tersebut ilmu hokum membuat suatu hubungan hierarkis antara aturan hokum yang bersumber dari legislative superior dengan yang inferior. Ketiga, prinsip derogasi,prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan dari teori terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain dengan sumber yang lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, prinsip-prinsip yang merupakan dasar berpijak bagi teori hokum untuk menolak kemungkinan adanya kontradiksi diantara peraturan yang ada.[4]

SUMBER HUKUM
            Sumber hokum memiliki banyak makna, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan sumber hokum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Kata sumber hokum sering digunakan dalam beberapa arti, diantara nya yaitu :
a.       Sebagai asas hokum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hokum, misalnya kehendak tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya,
b.      Menunjukkan hokum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hokum yang berlaku sekarang,
c.       Sebagai sumber berlakunya, yang member kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hokum,
d.      Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hokum, misalnya dokumen, undang-undang, dan sebagainya,
e.       Sebagai sumber terjadinya hokum : sumber yang menimbulkan hokum.[5]
Secara umum, sumber hokum memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu sumber hokum formil dan sumber hokum materiil. Sumber hokum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hokum.[6] Hal ini berkaitan mengenai bentuk serta tata cara yang menyebabkan peraturan hokum tersebut formal berlaku. Sumber hokum materiil yaitu tempat dari mana materi hokum itu diambil.[7] Dalam hal ini sumber hokum materiil merupakan factor yang membantu pembentukan hokum, misalnya saja : hubungan social, hubungan kekuatan politik, serta situasi social ekonomis.

DOKTRIN HUKUM
            Doktrin hokum, dapat disebut sebagai pemikiran para sarjana hokum tentang hokum itu sendiri. Pendapat para sarjana hokum yang merupakan doktrin adalah sumber hokum, tempat dimana hakim dapat menemukan hukumnya. Pada zaman Romawi, terdapat golongan para ahli hokum yang dinamakan prudentes yang dapat membuat tindakan-tindakan sebagai berikut :
a.       Membuat ulasan (komentar) tentang hokum yang berlaku di masyarakat,
b.      Berusaha mencari hakekat hokum,
c.       Berusaha member jawaban atas masalah-masalah yang hangat.

  





[1] Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 68 dikutip dari Salam, 1988:33.
[2] Ibid, Hlm. 68
[3] Ibid, Hlm. 72
[4] Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, Hlm. 24
[5] Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 82
[6] Ibid, Hlm. 83
[7] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar