ASAS
PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia pada
masa sekarang ini tidak terlepas dari perjanjian. Perjanjian menurut pasal 1313
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.[1]
Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dahulu saat tingkat
kepercayaan masih tinggi diantara para pihak perjanjian dapat dibuat secara
lisan maupun tertulis. Namun seiring berjalannya waktu, tingkat kepercayaan para pihak menurun
sehingga perjanjian yang tertulis lebih diminati daripada perjanjian secara
lisan yang kurang memberi kepastian hukum.
Perjanjian tertulis
berdasarkan tempat pengaturannya dibagi menjadi dua, yaitu perjanjian yang diatur di dalam KUH
Perdata, dan di luar KUH Perdata.
Perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata disebut perjanjian bernama, sedangkan di luar KUH Perdata disebut dengan
perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang sudah ditentukan oleh pembuat Undang-undang, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian yang terdapat dalam masyarakat,
dan namanya tidak ditentukan oleh Undang-undang. Perjanjian jenis baru
mempunyai jumlah yang tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan pada
kebutuhan para pihak yang mengadakannya,
seperti perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran, perjanjian
pengelolaan.
Perjanjian jenis baru
lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
dalam hal ini bebas yang dimaksud adalah bebas dalam menentukan
isi, bentuk, hukum,
dan menentukan pada siapa akan membuat perjanjian. Bebas diatas tetap
mempunyai batasan. Batasan tersebut adalah undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Walaupun perjanjian jenis baru tidak ditentukan
namanya oleh KUH Perdata, ketentuan umum
tentang perjanjian tetap harus diikuti oleh para pembuat perjanjian jenis
baru, termasuk tentang asas-asas
perjanjiannya. Asas-asas dalam hukum perikatan yang diatur jelas dalam KUH
Perdata adalah asas konsensualisme, asas
personalitas, asas pacta sunt servanda, dan
asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian kerja sama
yang merupakan perjanjian jenis baru,
dapat melahirkan perjanjian kerja sama yang bermacam-macam, salah satunya adalah outsourcing. Perjanjian outsourcing
ini, tidak hanya mengikat para pihak
yang membuatnya tapi juga mengikat pihak ketiga. Hal ini tidak sejalan dengan
asas personalitas (kepribadian), karena
dalam Pasal 1315 KUH Perdata suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang
membuatnya saja dan tidak mengikat pihak ketiga ataupun pihak lainnya.
Sedangkan semua perjanjian harus mengandung asas-asas hukum perjanjian yang
tidak bertentangan satu sama lain.
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka penulis akan merumuskan masalah tentang hubungan antara
asas personalitas (kepribadian) dengan sistem outsourcing, yang dituangkan dalam paper yang berjudul ASAS
PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING.
BAB
II
ASAS
PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING
Memperkerjakan karyawan
dalam ikatan kerja outsourcing
nampaknya sedang menjadi trend atau model bagi pemilik atau pemimpin perusahaan
baik itu perusahaan milik negara maupun milik swasta. Banyak perusahaan
outsourching yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja
aktif menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan
yag memerlukan tenaga kerja tidak perlu susah mencari, menyeleksi, dan melatih
tenaga kerja yang dibutuhkan.[2]
Secara legal tidak ada
hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi
pekerja adalah tetap karyawan dari perusahaan outsourcing. Gajinyapun dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh
pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Tentu saja gaji itu di berikan
setelah dipotong oleh perusahaan outsourcing.
Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai tenaga
kerja akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing.[3]
Outsourcing
(Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses
bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut
melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria
yang telah disepakati oleh para pihak.[4]
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum
ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa tenaga kerja.[5]
Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65
dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Dalam UU No.13/2003, yang
menyangkut outsourcing (Alih Daya)
adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4
ayat).
Pasal 64 UU No.13/2003
adalah dasar dibolehkannya outsourcing.
Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65 UU No.13/2003
memuat beberapa ketentuan yaitu penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain,
seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
A. Dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama
B. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
C. Merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
D. Tidak
menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2);
Perusahaan lain (yang
diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
Perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundangan (ayat 4);
Perubahan atau
penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan
menteri (ayat 5);
Hubungan kerja dalam
pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain
dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6);
Hubungan kerja antara
perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja
waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
Bila beberapa syarat
tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan
pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus
berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13
tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.[6]
Pengaturan tentang outsourcing
sudah cukup jelas di dalam UU ketenagakerjaan, namun outsourching pada dasarnya tetap suatu perjanjian yang harus
memenuhi asas-asas perjanjian, yang salah satunya adalah asas kepribadian atau
personalitas. Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.
Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu
perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat
para pihak secara personal tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak
memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan
tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana
dalam Pasal 1317 KUH Perdata
yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak berlaku bagi pihak ketiga, dengan adanya suatu
syarat yang ditentukan atau sering
disebut sebagai Derden Werking
Berdasarkan pasal 66 UU
No.13 Tahun 2003 tentang outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk
kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. Yang dimaksud
dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa
penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, penggunaan pekerja keamanan (security) yang disediakan oleh
perusahaan outsourcing oleh Universitas Gadjah Mada, ada 2 (dua) tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1.
Perjanjian antara perusahaan
pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa
pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[7]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam
hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan
membayar sejumlah dana (management fee)
pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.
2. Perjanjian perusahaan penyedia
pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan harus memenuhi syarat sebagai berikut :[8]
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan harus memenuhi syarat sebagai berikut :[8]
a. adanya hubungan kerja
antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang
berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Adanya
2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di
perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan
perusahaan penyedia pekerja.
Pemenuhan hak-hak
karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja..
Perjanjian kerja antara
karyawan outsourcing dengan
perusahaan outsourcing biasanya
mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna
jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan
apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing
hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak
kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource.
Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk
perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya
yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi
berada di bawah perusahaan outsourcing,
namun pada saat rekruitmen, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan
dari pihak perusahaan pengguna outsourcing.
Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
Hubungan hukum
Perusahaan Outsourcing (Alih Daya)
dengan perusahaan pengguna outsourcing
(Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal
penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan
dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing (Alih Daya)
menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya.
Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan
bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Peraturan perusahaan
berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban
menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana
kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati
bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan
perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja.
Perusahaan pengguna
jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung,
baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian outsourcing tidaklah merupakan
penyimpangan asas personalitas. Karena sistem perjanjian outsourcing termasuk dalam pengecualian asas personalitas.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perjanjian outsourcing
bukan merupakan penyimpangan asas personalitas yang termuat dalam pasal 1315
KUH Perdata, melainkan merupakan pengecualian asas personalitas. Pengecualian
asas personalitas
yang dimaksud terkait dengan berlakunya perjanjian bagi pihak ketiga (derden werking) yang termuat dalam pasal
1317 KUH Perdata.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhardi,
Gunarto. 2006. Perlindungan Hukum Bagi
Para Pekerja Kontrak Outsourcing. Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Yogyakarta
Prodjodikoro,
Wirjono. 2000. Asas-asas Hukum Perjanjian.
Mandar Maju. Bandung
Djumiadji, FX. 1987. Perjanjian
Kerja. Bina Aksara. Jakarta
Subekti, Tjitrosidibio. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT
Pradnya Paramita. Jakarta
Artikel “outsource dipandang dari sudut
perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id
[1]
Subekti dan Tjitrosidibio. 2007. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Halaman 338
[2]
Suhardi Gunarto.,2006. Perlindungan Hukum
bagi Para Pekerja Kontrak outsourcing, Universitas Atma Jaya Jogjakarta,
hlm.5
[3]
ibid
[4]
Artikel “outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 11
oktober 2011
[5]
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
[6]UU
no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[7]Pasal
65 ayat 2 UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
[8]
Pasal 66 UU no 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar