Senin, 18 Juni 2012

ASAS PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING


ASAS PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia pada masa sekarang ini tidak terlepas dari perjanjian. Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[1] Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dahulu saat tingkat kepercayaan masih tinggi diantara para pihak perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Namun seiring berjalannya waktu,  tingkat kepercayaan para pihak menurun sehingga perjanjian yang tertulis lebih diminati daripada perjanjian secara lisan yang kurang memberi kepastian hukum.
Perjanjian tertulis berdasarkan tempat pengaturannya dibagi menjadi dua,  yaitu perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata,  dan di luar KUH Perdata. Perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata disebut perjanjian bernama,  sedangkan di luar KUH Perdata disebut dengan perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang sudah ditentukan oleh pembuat Undang-undang,  sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang terdapat dalam masyarakat,  dan namanya tidak ditentukan oleh Undang-undang. Perjanjian jenis baru mempunyai jumlah yang tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan pada kebutuhan para pihak yang mengadakannya,  seperti perjanjian kerja sama,  perjanjian pemasaran,  perjanjian pengelolaan.
Perjanjian jenis baru lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak,  dalam hal ini bebas yang dimaksud adalah bebas dalam menentukan isi,  bentuk,  hukum,  dan menentukan pada siapa akan membuat perjanjian. Bebas diatas tetap mempunyai batasan. Batasan tersebut adalah undang-undang,  kesusilaan,  dan ketertiban umum. Walaupun perjanjian jenis baru tidak ditentukan namanya oleh KUH Perdata,  ketentuan umum tentang perjanjian tetap harus diikuti oleh para pembuat perjanjian jenis baru,  termasuk tentang asas-asas perjanjiannya. Asas-asas dalam hukum perikatan yang diatur jelas dalam KUH Perdata adalah asas konsensualisme,  asas personalitas,  asas pacta sunt servanda,  dan asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian kerja sama yang merupakan perjanjian jenis baru,  dapat melahirkan perjanjian kerja sama yang bermacam-macam,  salah satunya adalah outsourcing. Perjanjian outsourcing ini,  tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya tapi juga mengikat pihak ketiga. Hal ini tidak sejalan dengan asas personalitas (kepribadian),  karena dalam Pasal 1315 KUH Perdata suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja dan tidak mengikat pihak ketiga ataupun pihak lainnya. Sedangkan semua perjanjian harus mengandung asas-asas hukum perjanjian yang tidak bertentangan satu sama lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan masalah tentang hubungan antara asas personalitas (kepribadian) dengan sistem outsourcing, yang dituangkan dalam paper yang berjudul ASAS PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING.

BAB II
ASAS PERSONALITAS DALAM PERJANJIAN OUTSOURCING

Memperkerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsourcing nampaknya sedang menjadi trend atau model bagi pemilik atau pemimpin perusahaan baik itu perusahaan milik negara maupun milik swasta. Banyak perusahaan outsourching yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja aktif menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yag memerlukan tenaga kerja tidak perlu susah mencari, menyeleksi, dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan.[2]
Secara legal tidak ada hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah tetap karyawan dari perusahaan outsourcing. Gajinyapun dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Tentu saja gaji itu di berikan setelah dipotong oleh perusahaan outsourcing. Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai tenaga kerja akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing.[3]
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[4] Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.[5]
Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 UU No.13/2003 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65 UU No.13/2003 memuat beberapa ketentuan yaitu penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
A.    Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
B.     Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
C.     Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
D.    Tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2);
Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6);
Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[6]
Pengaturan tentang  outsourcing sudah cukup jelas di dalam UU ketenagakerjaan, namun outsourching pada dasarnya tetap suatu perjanjian yang harus memenuhi asas-asas perjanjian, yang salah satunya adalah asas kepribadian atau personalitas. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.
 Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
 Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak berlaku bagi pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan atau sering disebut sebagai Derden Werking
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 tentang outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
            Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, penggunaan pekerja keamanan (security) yang disediakan oleh perusahaan outsourcing oleh Universitas Gadjah Mada, ada 2 (dua) tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1.      Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[7]
a.
  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.
2. Perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan ha
rus memenuhi syarat sebagai berikut :[8]
a.  adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan  penyedia jasa pekerja atau buruh;
b.  perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja.
Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja..
            Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitmen, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja.
Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian outsourcing tidaklah merupakan penyimpangan asas personalitas. Karena sistem perjanjian outsourcing termasuk dalam pengecualian asas personalitas.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perjanjian outsourcing bukan merupakan penyimpangan asas personalitas yang termuat dalam pasal 1315 KUH Perdata, melainkan merupakan pengecualian asas personalitas. Pengecualian asas personalitas yang dimaksud terkait dengan berlakunya perjanjian bagi pihak ketiga (derden werking) yang termuat dalam pasal 1317 KUH Perdata.


DAFTAR PUSTAKA

Suhardi, Gunarto. 2006. Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta
Prodjodikoro, Wirjono. 2000. Asas-asas Hukum Perjanjian. Mandar Maju. Bandung
Djumiadji, FX. 1987. Perjanjian Kerja. Bina Aksara. Jakarta
Subekti, Tjitrosidibio. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita. Jakarta
Artikel “outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”,  http://www.apindo.or.id




[1] Subekti dan Tjitrosidibio. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Halaman 338
[2] Suhardi Gunarto.,2006. Perlindungan Hukum bagi Para Pekerja Kontrak outsourcing, Universitas Atma Jaya Jogjakarta, hlm.5
[3] ibid
[4] Artikel “outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 11 oktober 2011
[5] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
[6]UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[7]Pasal 65 ayat 2 UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
[8] Pasal 66 UU no 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar