BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem
pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga masyarakat
disana. Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada masa
sekarang tidak terlepas dari adanya
proses perubahan, proses adaptasi, dan proses penyerapan yang dilakukan oleh
warga masyarakat terdahulu. Dengan kata
lain, segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa.
Sehingga sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing Negara di dunia
tidak mungkin sepenuhnya sama.
Sistem
pemerintahan yang ada di Negara Indonesia, belum tentu sama dengan sistem
pemerintahan yang ada pada Negara-negara penjajahnya dulu seperti, negara
Belanda, negara Jepang, ataupun negara Inggris. Walaupun pada dasarnya,
keberadaan ketiga Negara itu bagi bangsa Indonesia pada masa terdahulu adalah
sangat penting. Karena sedikit banyak Negara-negara penjajah itu sudah membawa
masuk budaya mereka kedalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk melalui aspek
hukumnya.
Hukum
yang ada di Indonesia pada saat ini, bukanlah hukum yang memang sepenuhnya
berasal dari nenek moyang bangsa Indonesia. Karena hukum di Indonesia saat ini
merupakan hukum yang sudah bercampur dengan hukum-hukum yang dibawa oleh Negara
penjajahnya ataupun oleh orang-orang pendatang yang mencoba hidup di Indonesia.
Hal ini tidaklah berarti Indonesia merupakan Negara yang tidak mempunyai jiwa
sendiri, melainkan bangsa Indonesia mencoba untuk merangkul semua orang yang
bersedia tunduk pada hukumnya agar kepentingannya tetap terlindungi, agar bagsa
Indonesia lebih menjadi bangsa yang maju dan bias di terima dalam kancah
internasional, agar hukum di Indonesia tetap bias di laksanakan oleh semua
orang yang tunduk padanya sesuai perubahan kehidupan masyarakatnya.
Sehingga
dapat dilihat, bahawa hukum di Indonesia masa masa sekarang ini, tidaklah
bersumber dari hukum adat, melaikan juga bersumber dari hukum-hukum Negara
penjajahnya, dan hukum agama yang dianut oleh warga masyarakatnya. Terkait
dengan sumber yang berasal dari hukum-hukum Negara penjajahnya, tidak berarti
Indonesia membawa masuk secara serta merta hukum itu ke dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, melaikan tetap menyesuaikan atau hanya sekedar menyerap
beberapa aturan hukum Negara-negara penjajahnya itu yang sesuai dengan prinsip
dasar kehidupan masyarakat Indonesia, dalam hal ini adalah tertuang dalam
Pancasila. Sedangkan terkait dengan agama yang dianut oleh warga masyarakatnya,
maka Indonesia lebih banyak memasukkan unsure agama Islam dalam hukum
Indonesia, karena menimbang sebagian besar masyarakat Indonesia beragama islam.
Akan tetapi, tidak berarti hukum di Indonesia serta merta melarang hal-hal yang diperbolehkan dalam agama-agama
selain islam. Karena pada prinsipnya, jika di hadapakan dengan hukum agama,
maka hukum positif di Indonesia memberikan keleluasaan bagi warga masyarakatnya
untuk menjalankan kehidupannya sesuai dengan agama masing-masing, dengan syarat
pelaksanaanya harus disesuaikan dengan hukum positif yang telah diatur oleh
pembentuk undang-undang.
Unsure
agama Islam yang sedikit banyak di serap dalam hukum positif Indonesia
menyebabkan semua bidang hukum positif di Indonesia terkandung unsure agama
islam. Tidak terkecuali pada bidang hukum bisnis, khususnya dalam dunia
perbankan. Sehingga dunia perbankan Indonesia sebaiknya pengupayaan fasilitas
sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya orang-orang
beragama Islam. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.
Di
antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah keamanan,
kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun mencari
pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat, bank-bank yang ada di
Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang terdapat kecenderungan
riba.
Meskipun
bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun dalam praktiknya
pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang hanya diubah
kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di lapangan juga
seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.
Bank
syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada praktiknya
masih belum jelas atau rancuh. Terkait dengan produk-produk dari perbankan
syariah masih kabur, karena masih sarat akan kepentingan kapitalistik dan sulit
ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan tabungan
syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang memakai
produk perbankan tabungan dan giro itu sendiri.
Pada
prinsipnya, giro dan tabungan syariah merupakan buah dari akad syariah yang di
sebut dengan wadiah. Wadiah sendiri memiliki sumber fiqih yang jelas. Hanya
saja implementasi wadiah yang ada dalam fiqih itu sendiri masih kurang jelas
jika dilihat dari pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat Dirumuskan suatu masalah
yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan
wadiah dalam perbankan sistem syariah di Indonesia?
BAB
II
TINJAUAN
UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH DAN WADIAH
A.
Tinjauan
Umum Tentang Perbankan Syariah
1.
Pengertian Perbankan Syariah
Pengertian
perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (1),
menyatakan bahwa “Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Sedangkan
pengertian Bank syariah dalam pasal 1 ayat (7) menyatakan bahwa “Bank syariah
adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah”.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa, perbankan syariah adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariat islam.
2.
Jenis Perbankan Syariah
Menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (2), perbankan syariah menurut
jenisnya terdiri dari bank umum syariah dan bank pembiayaan syariah. Bank umum
syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (8) adalah bank
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan bank pembiayaan syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1
ayat (9) adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Lalu lintas pembayaran adalah segala kegiatan timbale
balik yang bersangkutan dengan penyerahan dan penerimaan sejumlah alat pembayaran,
seperti giro, valas, inkaso, letter of
credit, dan travelers cheque.
Jenis
perbankan syariah diatur juga dalam Pasal 1 ayat (10) disebutkan jenis
perbankan syariah, yaitu:
“Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya
disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja dikantor cabang dari suatu
bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/ atau unit syariah.”
Jadi
berdasarkan uraian diatas, jenis perbankan syariah ada tiga yaitu Bank Umum
Syariah, Bank Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
1. Azas
dan Fungsi Perbankan Syariah
Asas yang dipakai Perbankan syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya adalah prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip
kehati-hatian. Perbankan syariah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 fungsi
perbankan syariah adalah ;
a. Bank
syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat
b. Bank
syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi social dalam bentuk lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau
dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
c. Bank
syariah dan UUS dapat menghimpun dana social yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
d. Pelaksanaan
fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi bank syariah tidak sama dengan bank
konvensional, fungsi bank syariah juga merupakan karakteristik bank syariah.
Diantara fungsi bank syariah itu sendiri yang menjadi karakteristiknya adalah
fungsi manager investasi dan fungsi investor.[1]
Dalam fungsi manager investasi bank syariah
merupakan manajer investasi dari pemilik dana, dari dana yang dihimpun yang
disebut deposan atau penabung. Fungsi ini dapat dilihat pada segi penghimpun
dana bank syariah dalam menghimpun dana, khususnya dana mudharabah, bertindak
sebagai manajer investasi dalam arti dana tersebut harus dapat disalurkan pada
penyaluran yang produktif, sehingga dana yang dihimpun tersebut harus dapat
menghasilkan yang hasilnya akan dibagihasilkan dengan pemilik dana.
Dalam
fungsi investor, dalam penyaluran dana baik dalam prinsip bagi hasil (mudharabah), penyertaan (musyarakah), prinsip sewa (ijarah), maupun prinsip jual beli (murabahah, salam, dan istishna’) bank syariah sebagai investor
sebagai pemilik dana. Dana ini disalurkan pada sektor-sektor produktif dan
mempunyai resiko yang sangat minim. Keahlian serta profesionalisme sangat
diperlukan dalam menangani penyaluran dana ini.
2. Unsur-unsur yang Dilarang Dalam Perbankan Syariah
Munculnya transaksi baru dalam perbankan syariah
yang belum ada dalam hukum islam, maka transaksi tersebut dianggap
dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadis yang
melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Jadi, dalam bidang muamalat semua
transaksi dibolehkan kecuali diharamkan.
Penyebab
terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor dibawah ini:[2]
a. Haram Zatnya/haram li-dzatihi
Transaksi yang dilarang karena obyek yang ditransaksikan
juga dilarang. Misalnya, minuman keras, bangkai, daging babi dan sebagainya.
Jadi transaksi jual beli minuman keras adalah haram walaupun akad jual-belinya
sah.
b. Haram selain Zatnya/haram li ghairihi
1)
Melanggar
Prinsip “An Taraddin Minkum”
Setiap
transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah
pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete
information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi /ditipu karena ada
suatu yang salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui oleh
pihak lain dalam bahasa fiqihnya disebut tadlis dan dapat terjadi dalam 4
(empat) hal yaitu Kuantitas, Kualitas, harga dan Waktu Penyerahan.
2)
Melanggar
Prinsip “La Tazhlimuna wa la tuzhlamun”
3)
Prinsip
jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik yang melanggar prisip ini yaitu
adanya rekayasa pasar, rekayasa pasar dalam demand (Bai’Najasy), Taghrir
(Gharar) dan Riba.
c.
Tidak
sah atau tidak lengkap akadnya
Dikatakan tidak sah atau tidak lengkap akadnya bila
terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut:
1)
Rukun
dan Syarat tidak terpenuhi
Rukun dimana ada sesuatu yang wajib dalam suatu
transaksi misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli
maka jual-beli tidak ada. Akad dapat menjadi batal apabila terdapat
kesalahan/kekeliruan obyek, paksaan (ikrah) dan penipuan (tadlis) bila ketiga
rukun tersebut dipenuhi maka transaksi yang dilakukan sah. Selain rukun, faktor
supaya akad menjadi sah adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya
melengkapi rukun seperti pelaku transaksi haruslah cakap hukum. Bila rukun dipenuhi
tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga
transaksi tersebut menjadi fasid (rusak)
2)
Ta’alluq
Ta’alluq
terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan dimana
berlakunya akad 1 tergantung pada akad.
3)
“Two
in One”
Adalah
kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga
terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus
digunakan/berlaku. Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan
shafqatain fi al-shafqah.[1]
A.
Tinjauan
Umum Tentang Wadiah
1.
Pengertian Wadiah
a.
Pengertian
Wadiah Secara Etimologi
Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan murni (amanah) dari
satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[1]
Wadiah
bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah
dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.
Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan
wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya. Contohnya
seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan
menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad
tersebut sah hukumnya.
تسليط الغير على
حفظ ماله صارحا أو
دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Sedangkan mahzab
Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadiah adalah mewakilkan orang lain
untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
توكيل في حفظ
مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
c. Pengertian
Wadiah Secara Istilah adalah akad
seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara
layak (menurut kebiasaan). Atau
ada juga yang mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara
terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.[3]
d. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Wadiah
secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau
dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan
isyarat yang semakna dengan itu.
e. Pengertian Wadiah Menurut Bank Indonesia
(1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai
barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
f.
Wadiah juga bisa diartikan titipan,
yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila ada
kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila
kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya.
Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang,
dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.[4] Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty).
Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah
pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad tijari.
2.
Landasan Syariah Wadiah
Wadiah
diterapkan dalam hukum Perbankan di
Indonesia karena wadiah mempunyai landasan yang kuat. Sehingga pelaksanaan
wadiah itu harus sesuai dengan dalil-dalilsebagai berikut:[5]
a.
Dalam
Alquran
An-Nisa
: 58
“Sungguh, Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu
menetapkan hukum di anatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah
Maha Mendengar dan Maha Melihat “
Al-Baqarah
: 283
“ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah
dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang
siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
b.
Hadist
Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah
amanat kepada orang yang mempercayai
anda dan janganlah anda mengkhianati
orang yang mengkhianati anda”
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “ Tunaikanlah amanat (
titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada
orang yang telah mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi
yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI). Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa
beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat
hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh
Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
c.
IJMA`
Ijma
adalah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus)
terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia.
3.
Rukun Wadiah
Rukun wadiah berdasarkan mahzab yang dianutnya,
dapat dibedakan mendadi dua, yaitu:[6]
a.
Menurut
Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
b.
Sedangkan
menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :
1) Wadiah
Wadiah adalah barang yang dititipkan, adapun
syaratnya adalah:
a) Barang yang dititipkan harus dihormati (muhtaramah)
dalam pandangan syariat.
b)
Barang
titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi, barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya
dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
2) Sighat
Sighat
adalah akad, adapun syaratnya adalah lafadz dari kedua belah
pihak dan tidak ada penolakannya dari pihak lainnya. Dan lafadz tersebut harus
dikatakan di depan kedua belah pihak yang berakad (Mudi’ dan wadii’)
3) Orang yang berakad
Orang
yang berakad ada dua puhak
yaitu Orang yang menitipkan (Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun
syarat dari orang yang berakad adalah :
a) Baligh
b) Berakal
c) Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam
mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang
berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad
wadiah ini.
4.
Sifat Akad Wadiah[7]
Karena
wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan
perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan
tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak
mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun
kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka
akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur
kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang
yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara
sepihak karena dia sudah dibayar.
5.
Jenis-jenis Wadiah
Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi
dua bentuk, yaitu:[8]
a.
Wadiah Yad Amanah
Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.
Hadis
Rasulullah menyebutkan bahwa “ Jaminan pertanggung
jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan
penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah
adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
1) Amr
Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Penerima titipan itu tidak menjamin”.
2) Karena
Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat. Penerima titipan telah menjaga titipan
tersebut tanpa ada imbalan (tabarru).
Dengan
konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan
dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi benar-benar
menjaganya sesuai kewajiban.
Kharakteristik
dari al-wadi’ah yad al-amanah adalah:
1)
Produk Wadiah yad Amanah, tidak ada di
lembaga perbankan.
2)
Jika barang hilang/rusak bukan karena
kelalaian atau alasan-alasan syar’iy lainnya
3)
maka mustawda’ tidak bertanggung jawab.
Cirri-ciri
dari Wadiah yad Amanah adalah:
1) Penerima titipan (Custodian) adalah yang
memperoleh kepercayaan (trustee)
2)
Harta / modal / barang yang berada dalam
titipan harus dipisahkan
3)
Harta dalam titipan tidak dapat
digunakan
4)
Penerima titipan tidak mempunyai hak
untuk memanfaatkan simpanan
5)
Penerima titipan tidak diharuskan mengganti segala resiko
kehilangan atau kerusakan harta yang
dititipkan kecuali bila kehilangan atau kerusakan itu karena kelalaian penerima
titipan atau bila status titipan telah berubah menjadi Wadiah Yad Dhamanah.
Wadiah yad amanah dapat berubah menjadi yad dhomanah
oleh sebab-sebab berikut :
a) Barang titipan tidak dipelihara oleh orang yang dititipi.
b) Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada
orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarganya atau tanggung jawabnya.
c) Barang titipan dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.
d) Orang yang dititipi wadiah mengingkari wadiah itu.
e) Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan
harta pribadinya sehingga sulit dipisahkan.
f) Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah
ditentukan.
g) Barang titipan dibawa bepergian.
b.
Wadiah yad dhamanah
Wadiah yad dhamanah adalah Akad penitipan barang di mana pihak penerima
titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan
dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang. Semua
manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi
hak penerima titipan.
Sesuai
dengan hadis Rasulullah SAW “Diriwayatkan
dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk
meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur
sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan
Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie
kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan
tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun.
Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu
adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM) . Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan
perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas
dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga
hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan
untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru
yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana
dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa
adalah muqridh (pemberi pinjaman).
Skema:
Dengan konsep al wadiah yad adh-dahamah, pihak yang
menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau baeang yang
dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari
pengguna dana. Bank dpt memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Ciri-ciri
dari wadiah yad adh-dahamah adalah:
1) Penerima
Titipan adalah dipercaya dan penjamin keamanan barang yang dititipkan
2) Harta
dalam titipan tidak harus dipisahkan
3) Harta/modal/barang
dalam titipan dapat digunakan untuk perdagangan
4) Penerima
titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan
dalam perdagangan
5)
Pemilik harta / modal / barang
dapat menarik kembali titipannya sewaktu-waktu.
6. Batasan-Batasan Dalam Menjaga Wadi`Ah (Titipan)
Standar
batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis
akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas
seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi`
tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena
kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya
sendiri.
Al-wadi`ah bi `ajr
(wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan
yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian
(tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering
terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi
ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.
Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang
diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang
titipan tadi.
Kesalahan
yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada
sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas
kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.
Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah
bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia
pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada
orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari
hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan
yang sejenis atau sama nilainya (qima).
Ta`adli
hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah
kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan
ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara
bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang
titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan).
7. Keuntungan
Dalam Wadiah
Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau
bonusnya, perbedaan itu adalah:
a. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil
keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan
barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
b. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh
menerima laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.
c. Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank
berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus
disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus
diserahkan ke baitul mal (kas negara).
8. Jaminan
Dalam Wadiah
Jaminan
dalam wadiah disebabkan oleh beberapa hal, dimana hal-hal yang menyebabkannya
tersebut berbeda-beda tergantung dengan mahzab yang dipilih. Adapun sebab-sebab
adanya jaminan wadiah adalah:
a. Menurut Malikiyah,
sebab-sebab adanya jaminan
wadiah adalah:
1) Menitipkan barang pada selain penerima titipan (wadi’)
tanpa ada uzur sehingga ketika minta dikembalikan, wadiah sudah hilang.
2) Pemindahan wadiah dari satu negara ke negara lain berbeda
dengan pemindahan dari rumah ke rumah.
3) Mencampurkan wadiah dengan sesuatu yang tidak bisa
dibedakan.
4) Pemanfaatan wadiah.
5) Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk
hilang atau rusak.
6) Menyalahi cara pemeliharaan.
b. Menurut Syafi’iyah,
sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah:
1) Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin.
2) Meletakkan pada tempat yang tidak aman.
3) Memindahkan ke tempat yang tidak aman.
4) Melalaikan kewajiban menjaganya.
5) Berpaling dari penjagaan yang diperintahkan sehingga
barang menjadi rusak.
6) Memanfaatkan wadiah.
c. Menurut Hanabilah,
sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah:
1)
Menitipkan
pada orang lain tanpa uzur.
2)
Melalaikan
pemeliharaan.
3)
Menyalahi
cara pemeliharaan seperti yang telah disepakati.
4)
Mencampurnya
dengan yang lain sehingga tidak dapat dibedakan.
5)
Pemanfaatan
wadiah.
9. Hukum
Menerima Barang Wadiah
Ada
lima jenis hukum yang akan muncul saat terjadinya penerimaan barang wadiah,
yaitu:[9]
a. Haram, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum
haram, karena orang yang akan dititipi yakin dirinya akan berkhiyanat.
b. Makruh, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum
makruh, karena orang yang akan dititipi memiliki kekhawatiran akan berkhianat
(was-was).
c. Mubah, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum
mubah (boleh) bagi orang yang memiliki kekhawatiran akan ketidakmampuannya dan
takut berkhiyanat lalu dia memberi tahu ke orang yang akan menitipkan akan hal
tersebut, akan tetapi orang yang menitipkan tetap merasa yakin dan percaya
bahwa orang tersebut layak dititipi, maka hukumnya boleh.
d. Sunnah, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum
sunnah apabila orang yang dititipi yakin dirinya amanah dan layak untuk
dititipi. Wajib, terjadi bila menerima amanah (wadiah) bisa berhukum
wajib jika tidak ada orang yang jujur dan layak selain dirinya.
BAB III
Wadiah
Dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia
Wadiah
merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah. Berdasarkan sumber
modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat dibagi kedalam,
Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir
keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan ini mempunyai
karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak
bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada
perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan
giro dan tabungan.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada
perjanjian dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank
bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut
bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan
tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai
imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan
fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan
pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam
kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
1.
Giro
2.
Tabungan
3.
Deposito
4.
Dan bentuk lainnya.
1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana menjadi milik atau tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan
imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada
pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak
boleh diperjanjikan di muka.
2. Bank harus membuat akad pembukaan
rekening yang isinya mencakup ijin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat memberikan buku cek,
bilyet giro dan debit card.
3. Terhadap pembukaan rekening ini bank
dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar –
benar terjadi.
4. Ketentuan – ketentuan lain yang
berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang
umumnya ada dalam produk bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan
untuk tiap produk memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda
tapi umumnya sama.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat
diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus
sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan
tidak disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal
atau persentasi. Sehingga akad
wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat ulama hanafi dan maliki.
Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking
policy dalam upaya merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai
indicator bank terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien
pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan
menguntungkan.
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari
nasabah tersebut digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan
bank memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah
bila dikehendaki.
KESIMPULAN
Keberadaan wadiah dalam perbankan syariah intinya
adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun penginvestasian dana masyarakat
sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga
kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas
dari azab siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.
[1] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, 2001, h. 85.
[3] Ihkwan Abidin Basri.
http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/wadiah/
[4] Narto .http://artikelterbaru.com/ekonomi/perbankan/penghimpunan-dana-prinsip-wadiah-20111923.html
[5] Prinsip Al-Wadiah pada
Perbankan Syariah. http://www.vibiznews.com/articles_financial_last.php?id=24&sub=article&month=OKTOBER&tahun=2007&awal=0&page=syariah. Diakses pada 3 April 2012
[6] Fadly. Bab wadhi’ah ( titipan
). http://alislamu.com/index.php?Itemid=22&id=283&option=com_content&task=view. Diakses pada 2 April 2012
[7]
Ikhwan Abidin Basri. Wadiah. http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/wadiah/.
Diakses tanggal 2 April 2012
[8]
Herman. Wadiah. http://herman-notary.blogspot.com/2010/09/wadhiah-dalam-perbankan-syariah.html.
diakses tanggal 3 April 2012
[1] Adiwarman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, h. 28
[2] Adiwarman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, h. 28
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut