Senin, 24 Desember 2012

wadiah dalam sistem perbankan syariah di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sistem pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga masyarakat disana. Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada masa sekarang  tidak terlepas dari adanya proses perubahan, proses adaptasi, dan proses penyerapan yang dilakukan oleh warga  masyarakat terdahulu. Dengan kata lain, segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa. Sehingga sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing Negara di dunia tidak mungkin sepenuhnya sama.
Sistem pemerintahan yang ada di Negara Indonesia, belum tentu sama dengan sistem pemerintahan yang ada pada Negara-negara penjajahnya dulu seperti, negara Belanda, negara Jepang, ataupun negara Inggris. Walaupun pada dasarnya, keberadaan ketiga Negara itu bagi bangsa Indonesia pada masa terdahulu adalah sangat penting. Karena sedikit banyak Negara-negara penjajah itu sudah membawa masuk budaya mereka kedalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk melalui aspek hukumnya.
Hukum yang ada di Indonesia pada saat ini, bukanlah hukum yang memang sepenuhnya berasal dari nenek moyang bangsa Indonesia. Karena hukum di Indonesia saat ini merupakan hukum yang sudah bercampur dengan hukum-hukum yang dibawa oleh Negara penjajahnya ataupun oleh orang-orang pendatang yang mencoba hidup di Indonesia. Hal ini tidaklah berarti Indonesia merupakan Negara yang tidak mempunyai jiwa sendiri, melainkan bangsa Indonesia mencoba untuk merangkul semua orang yang bersedia tunduk pada hukumnya agar kepentingannya tetap terlindungi, agar bagsa Indonesia lebih menjadi bangsa yang maju dan bias di terima dalam kancah internasional, agar hukum di Indonesia tetap bias di laksanakan oleh semua orang yang tunduk padanya sesuai perubahan kehidupan masyarakatnya.
Sehingga dapat dilihat, bahawa hukum di Indonesia masa masa sekarang ini, tidaklah bersumber dari hukum adat, melaikan juga bersumber dari hukum-hukum Negara penjajahnya, dan hukum agama yang dianut oleh warga masyarakatnya. Terkait dengan sumber yang berasal dari hukum-hukum Negara penjajahnya, tidak berarti Indonesia membawa masuk secara serta merta hukum itu ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melaikan tetap menyesuaikan atau hanya sekedar menyerap beberapa aturan hukum Negara-negara penjajahnya itu yang sesuai dengan prinsip dasar kehidupan masyarakat Indonesia, dalam hal ini adalah tertuang dalam Pancasila. Sedangkan terkait dengan agama yang dianut oleh warga masyarakatnya, maka Indonesia lebih banyak memasukkan unsure agama Islam dalam hukum Indonesia, karena menimbang sebagian besar masyarakat Indonesia beragama islam. Akan tetapi, tidak berarti hukum di Indonesia serta merta melarang  hal-hal yang diperbolehkan dalam agama-agama selain islam. Karena pada prinsipnya, jika di hadapakan dengan hukum agama, maka hukum positif di Indonesia memberikan keleluasaan bagi warga masyarakatnya untuk menjalankan kehidupannya sesuai dengan agama masing-masing, dengan syarat pelaksanaanya harus disesuaikan dengan hukum positif yang telah diatur oleh pembentuk undang-undang.
Unsure agama Islam yang sedikit banyak di serap dalam hukum positif Indonesia menyebabkan semua bidang hukum positif di Indonesia terkandung unsure agama islam. Tidak terkecuali pada bidang hukum bisnis, khususnya dalam dunia perbankan. Sehingga dunia perbankan Indonesia sebaiknya pengupayaan fasilitas sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya orang-orang beragama Islam. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.
Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat, bank-bank yang ada di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang terdapat kecenderungan riba.
Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun dalam praktiknya pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang hanya diubah kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.
Bank syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada praktiknya masih belum jelas atau rancuh. Terkait dengan produk-produk dari perbankan syariah masih kabur, karena masih sarat akan kepentingan kapitalistik dan sulit ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan tabungan syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang memakai produk perbankan tabungan dan giro itu sendiri.
Pada prinsipnya, giro dan tabungan syariah merupakan buah dari akad syariah yang di sebut dengan wadiah. Wadiah sendiri memiliki sumber fiqih yang jelas. Hanya saja implementasi wadiah yang ada dalam fiqih itu sendiri masih kurang jelas jika dilihat dari pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia.

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat Dirumuskan suatu masalah yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan wadiah dalam perbankan sistem syariah di Indonesia?

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH DAN WADIAH

A.      Tinjauan Umum Tentang Perbankan Syariah
1.         Pengertian Perbankan Syariah
Pengertian perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa “Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Sedangkan pengertian Bank syariah dalam pasal 1 ayat (7) menyatakan bahwa “Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, perbankan syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat islam.
2.      Jenis Perbankan Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (2), perbankan syariah menurut jenisnya terdiri dari bank umum syariah dan bank pembiayaan syariah. Bank umum syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (8) adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan bank pembiayaan syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (9) adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Lalu lintas pembayaran adalah segala kegiatan timbale balik yang bersangkutan dengan penyerahan dan penerimaan sejumlah alat pembayaran, seperti giro, valas, inkaso, letter of credit, dan travelers cheque.
Jenis perbankan syariah diatur juga dalam Pasal 1 ayat (10) disebutkan jenis perbankan syariah, yaitu:
“Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja dikantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/ atau unit syariah.”

Jadi berdasarkan uraian diatas, jenis perbankan syariah ada tiga yaitu Bank Umum Syariah, Bank Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
1.      Azas dan Fungsi Perbankan Syariah
Asas yang dipakai Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya adalah prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 fungsi perbankan syariah adalah ;
a.    Bank syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
b.    Bank syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi social dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
c.    Bank syariah dan UUS dapat menghimpun dana social yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
d.   Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi bank syariah tidak sama dengan bank konvensional, fungsi bank syariah juga merupakan karakteristik bank syariah. Diantara fungsi bank syariah itu sendiri yang menjadi karakteristiknya adalah fungsi manager investasi dan fungsi investor.[1]
Dalam fungsi manager investasi bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana, dari dana yang dihimpun yang disebut deposan atau penabung. Fungsi ini dapat dilihat pada segi penghimpun dana bank syariah dalam menghimpun dana, khususnya dana mudharabah, bertindak sebagai manajer investasi dalam arti dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyaluran yang produktif, sehingga dana yang dihimpun tersebut harus dapat menghasilkan yang hasilnya akan dibagihasilkan dengan pemilik dana.
          Dalam fungsi investor, dalam penyaluran dana baik dalam prinsip bagi hasil (mudharabah), penyertaan (musyarakah), prinsip sewa (ijarah), maupun prinsip jual beli (murabahah, salam, dan istishna’) bank syariah sebagai investor sebagai pemilik dana. Dana ini disalurkan pada sektor-sektor produktif dan mempunyai resiko yang sangat minim. Keahlian serta profesionalisme sangat diperlukan dalam menangani penyaluran dana ini.
2.      Unsur-unsur yang Dilarang Dalam Perbankan Syariah
Munculnya transaksi baru dalam perbankan syariah yang belum ada dalam hukum islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadis yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Jadi, dalam bidang muamalat semua transaksi dibolehkan kecuali diharamkan.
Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor dibawah ini:[2]
a.    Haram Zatnya/haram li-dzatihi
Transaksi yang dilarang karena obyek yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya, minuman keras, bangkai, daging babi dan sebagainya. Jadi transaksi jual beli minuman keras adalah haram walaupun akad jual-belinya sah.
b.    Haram selain Zatnya/haram li ghairihi
1)   Melanggar Prinsip “An Taraddin Minkum”
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi /ditipu karena ada suatu yang salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui oleh pihak lain dalam bahasa fiqihnya disebut tadlis dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu Kuantitas, Kualitas, harga dan Waktu Penyerahan.
2)   Melanggar Prinsip “La Tazhlimuna wa la tuzhlamun”
3)   Prinsip jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik yang melanggar prisip ini yaitu adanya rekayasa pasar, rekayasa pasar dalam demand (Bai’Najasy), Taghrir (Gharar) dan Riba.
c.    Tidak sah atau tidak lengkap akadnya
Dikatakan tidak sah atau tidak lengkap akadnya bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut:
1)   Rukun dan Syarat tidak terpenuhi
   Rukun dimana ada sesuatu yang wajib dalam suatu transaksi misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli maka jual-beli tidak ada. Akad dapat menjadi batal apabila terdapat kesalahan/kekeliruan obyek, paksaan (ikrah) dan penipuan (tadlis) bila ketiga rukun tersebut dipenuhi maka transaksi yang dilakukan sah. Selain rukun, faktor supaya akad menjadi sah adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun seperti pelaku transaksi haruslah cakap hukum. Bila rukun dipenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak)
2)   Ta’alluq
   Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan dimana berlakunya akad 1 tergantung pada akad.
3)   “Two in One”
   Adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan/berlaku. Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah.[1]
A.      Tinjauan Umum Tentang Wadiah
1.         Pengertian Wadiah
a.         Pengertian Wadiah Secara Etimologi
Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[1]
Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.
b.        Pengertian Wadiah Secara Terminologi [2]
Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya. Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadiah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
c.     Pengertian Wadiah Secara Istilah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan).  Atau  ada juga yang mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.[3]
d.      Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
e.   Pengertian Wadiah Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
f.         Wadiah juga bisa diartikan titipan, yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.[4] Dengan demikian akad wadi’ah ini  mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty). Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong menolong), bukan akad tijari.
2.         Landasan Syariah Wadiah
Wadiah diterapkan dalam  hukum Perbankan di Indonesia karena wadiah mempunyai landasan yang kuat. Sehingga pelaksanaan wadiah itu harus sesuai dengan dalil-dalilsebagai berikut:[5]
a.         Dalam Alquran
An-Nisa : 58
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di anatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat “
Al-Baqarah : 283
“ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
b.        Hadist
        Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah amanat kepada orang yang  mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati  orang yang mengkhianati anda”
    Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Tunaikanlah amanat ( titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI). Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
c.         IJMA`
Ijma adalah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia.


3.        Rukun Wadiah
Rukun wadiah berdasarkan mahzab yang dianutnya, dapat dibedakan mendadi dua, yaitu:[6]
a.         Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
b.         Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :
1)      Wadiah
Wadiah adalah barang yang dititipkan, adapun syaratnya adalah:
a)       Barang yang dititipkan harus dihormati (muhtaramah) dalam pandangan syariat.
b)        Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi, barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
2)      Sighat
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah lafadz dari kedua belah pihak dan tidak ada penolakannya dari pihak lainnya. Dan lafadz tersebut harus dikatakan di depan kedua belah pihak yang berakad (Mudi’ dan wadii’)
3)      Orang yang berakad
Orang yang berakad ada dua puhak yaitu Orang yang menitipkan (Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang berakad adalah :
a)      Baligh
b)      Berakal
c)      Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadiah ini.

4.         Sifat Akad Wadiah[7]
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
5.         Jenis-jenis Wadiah
Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:[8]
a.        Wadiah Yad Amanah
Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.
Hadis Rasulullah  menyebutkan bahwa “ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”  Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
1)        Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
2)    Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.  Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru).
 

Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi benar-benar menjaganya sesuai kewajiban.
Kharakteristik dari al-wadi’ah yad al-amanah adalah:
1)        Produk Wadiah yad Amanah, tidak ada di lembaga perbankan.
2)        Jika barang hilang/rusak bukan karena kelalaian atau alasan-alasan syar’iy lainnya
3)        maka mustawda’ tidak bertanggung jawab.
Cirri-ciri dari Wadiah yad Amanah adalah:
1)     Penerima titipan (Custodian) adalah yang memperoleh kepercayaan (trustee)
2)        Harta / modal / barang yang berada dalam titipan  harus dipisahkan
3)        Harta dalam titipan tidak dapat digunakan
4)        Penerima titipan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan simpanan
5)        Penerima titipan  tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan  harta yang dititipkan kecuali bila kehilangan atau kerusakan itu karena kelalaian penerima titipan atau bila status titipan telah berubah menjadi Wadiah Yad Dhamanah.
Wadiah yad amanah dapat berubah menjadi yad dhomanah oleh sebab-sebab berikut :
a)      Barang titipan tidak dipelihara oleh orang yang dititipi.
b)      Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarganya atau tanggung jawabnya.
c)      Barang titipan dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.
d)     Orang yang dititipi wadiah mengingkari wadiah itu.
e)      Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya sehingga sulit dipisahkan.
f)       Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.
g)      Barang titipan dibawa bepergian.
b.        Wadiah yad dhamanah
Wadiah yad dhamanah adalah Akad  penitipan barang di mana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW  “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.   Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM) . Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya.  Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi.  Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
Skema:







Dengan konsep al wadiah yad adh-dahamah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau baeang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dpt memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Ciri-ciri dari   wadiah yad adh-dahamah adalah:
1)   Penerima Titipan adalah dipercaya dan penjamin keamanan barang yang dititipkan
2)   Harta dalam titipan tidak harus dipisahkan
3)   Harta/modal/barang dalam titipan dapat digunakan untuk perdagangan
4)   Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan
5)   Pemilik harta / modal / barang dapat menarik kembali titipannya sewaktu-waktu.
6.      Batasan-Batasan Dalam Menjaga Wadi`Ah (Titipan)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. 
Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi.  Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah  menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.  Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. 
Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.  Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang.  Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima).
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan).
7.      Keuntungan Dalam Wadiah
Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya, perbedaan itu adalah:
a.    Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
b.    Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.
c.    Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).
8.      Jaminan Dalam Wadiah
Jaminan dalam wadiah disebabkan oleh beberapa hal, dimana hal-hal yang menyebabkannya tersebut berbeda-beda tergantung dengan mahzab yang dipilih. Adapun sebab-sebab adanya jaminan wadiah adalah:
a.    Menurut Malikiyah, sebab-sebab adanya jaminan wadiah adalah:
1)   Menitipkan barang pada selain penerima titipan (wadi’) tanpa ada uzur sehingga ketika minta dikembalikan, wadiah sudah hilang.
2)  Pemindahan wadiah dari satu negara ke negara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah ke rumah.
3)      Mencampurkan wadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan.
4)      Pemanfaatan wadiah.
5)      Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
6)      Menyalahi cara pemeliharaan.
b.    Menurut Syafi’iyah, sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah:
1)      Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin.
2)      Meletakkan pada tempat yang tidak aman.
3)      Memindahkan ke tempat yang tidak aman.
4)      Melalaikan kewajiban menjaganya.
5)      Berpaling dari penjagaan yang diperintahkan sehingga barang menjadi rusak.
6)      Memanfaatkan wadiah.
c.    Menurut Hanabilah, sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah:
1)        Menitipkan pada orang lain tanpa uzur.
2)        Melalaikan pemeliharaan.
3)        Menyalahi cara pemeliharaan seperti yang telah disepakati.
4)        Mencampurnya dengan yang lain sehingga tidak dapat dibedakan.
5)        Pemanfaatan wadiah.
9.      Hukum Menerima Barang Wadiah
Ada lima jenis hukum yang akan muncul saat terjadinya penerimaan barang wadiah, yaitu:[9]
a.    Haram, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum haram, karena orang yang akan dititipi yakin dirinya akan berkhiyanat.
b.    Makruh, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum makruh, karena orang yang akan dititipi memiliki kekhawatiran akan berkhianat (was-was).
c.    Mubah, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum mubah (boleh) bagi orang yang memiliki kekhawatiran akan ketidakmampuannya dan takut berkhiyanat lalu dia memberi tahu ke orang yang akan menitipkan akan hal tersebut, akan tetapi orang yang menitipkan tetap merasa yakin dan percaya bahwa orang tersebut layak dititipi, maka hukumnya boleh.
d.   Sunnah, terjadi bila menerima titipan barang bisa berhukum sunnah apabila orang yang dititipi yakin dirinya amanah dan layak untuk dititipi. Wajib, terjadi bila menerima amanah (wadiah) bisa berhukum wajib jika tidak ada orang yang jujur dan layak selain dirinya.

BAB III
Wadiah Dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia
Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah. Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
1.         Giro
2.         Tabungan
3.         Deposito
4.         Dan bentuk lainnya.
Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:
1.     Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
2.   Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
3.   Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
4.      Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
       Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya sama.
           Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
            Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan. 
       Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki.

KESIMPULAN

       Keberadaan wadiah dalam perbankan syariah intinya adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.




[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 85.

[3] Ihkwan Abidin Basri. http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/wadiah/
[4] Narto .http://artikelterbaru.com/ekonomi/perbankan/penghimpunan-dana-prinsip-wadiah-20111923.html
[6] Fadly. Bab wadhi’ah ( titipan ). http://alislamu.com/index.php?Itemid=22&id=283&option=com_content&task=view. Diakses pada 2 April 2012
[7] Ikhwan Abidin Basri. Wadiah. http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/wadiah/. Diakses tanggal 2 April 2012
[9] http://zonamerahislam.com/archives/163. Diakses tanggal 3 April 2012

[1] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 28         


[1] Fungsi-fungsi Bank Syariah, http://www.blogspot.com, diakses tanggal 30 Maret 2012
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 28


1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus