Senin, 24 Desember 2012

Kajian Yuridis Eksistensi PPAT Selaku Pejabat Umum Yang Berwenang Membuat Akta Otentik


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan tanah beserta sumber daya alam. Orang perorangan ataupun badan hukum dapat menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah melalui prosedur permohonan hak kepada pemerintah atau melalui peralihan hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peralihan hak atas tanah karena peristiwa hukum dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat. Sedangkan perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak atas tanah, antara lain jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahan, dan perbuatan lainnya. Menurut hukum tanah nasional, perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihanya hak atas tanah hanya dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Awal mula eksistensi jabatan PPAT diatur dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya yang menegaskan bahwa setiap perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah harus dilakukan para pihak di hadapan Penjabat yang ditunjuk oleh menteri. Selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Pejabat yang Dimaksudkan Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa penjabat yang dimaksud adalah PPAT.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik berkaitan dengan pertanahan dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun. Dalam sistem hukum nasional, PPAT bukan merupakan satu-satunya pejabat umum. Notaris berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2004 juga ditegaskan kedudukannya sebagai pejabat umum dengan kewenangan yang jauh lebih luas dibandingkan PPAT.
Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum lebih luas dibandingkan PPAT karena Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diperintahkan undang-undang maupun permintaan para pihak sepanjang tidak dikecualikan oleh pejabat lain berdasar undang-undang. Sedangkan PPAT hanya berwenang membuat 8 jenis akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah sebagaimana ditegaskan dalam PMNA/Perkaban Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998.
Selama ini eksistensi kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan akta pertanahan diragukan bahkan dikritisi. Adapun yang menjadi pemicu keraguan dan kritik tersebut adalah, pertama,  ketiadaan suatu dasar hukum kedudukan PPAT sebagai pejabat umum yang diatur dalam bentuk Undang-undang. Peraturan jabatan PPAT selama ini hanya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Kedua adalah pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan cara mengisi blanko akta yang disediakan BPN dianggap mengurangi hakikat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum. Dengan ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberikan kewenangan yang sama dengan Notaris untuk membuat aktanya sendiri, bukan sebaliknya mengisi blanko akta. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka akan dianalisis eksistensi jabatan PPAT selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.
  
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 
1.  Bagaimana kedudukan akta-akta pertanahan yang dibuat PPAT selama ini ditinjau dari aspek otentisitasnya berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata?

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PPAT DAN AKTA OTENTIK

A.      Pengertian, Kedudukan, dan Macam PPAT
Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan jabatan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut diperintahkan bahwa semua perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau membebani hak atas tanah sebagai jaminan hutang harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan “penjabat” yang ditunjuk oleh Menteri. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 yang menentukan dengan tegas bahwa akta-akta pertanahan merupakan wewenang Penjabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam perkembangannya PP Nomor 10 Tahun 1961 digantikan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. Di dalam PP ini, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 yang berbunyi PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.  Pasal 7 Peraturan Pemerintah yang sama menyebutkan pula bahwa peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Peraturan pelaksanaannya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang kemudian diubah sebagai Pasalnya oleh Peraturan Kepala BPN Nomor Nomor 23 Tahun 2009.
Pengertian PPAT berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Pada umumnya, PPAT merangkap dengan jabatan Notaris. Rangkap jabatan tersebut dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 1998. Rangkap jabatan tersebut dimungkinkan karena keduanya berkedudukan sama sebagai pejabat umum, walaupun notaris merupakan pejabat umum dengan kewenangan yang lebih umum dan luas dibandingkan PPAT. Selain itu terdapat pula derivasi dari jabatan PPAT, yaitu:
1.    PPAT Sementara menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 37 Tahun 1998  adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara adalah Camat atau Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 3 huruf a.
2.    PPAT Khusus menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b PPAT khusus tersebut adalah Kepala Kantor Pertanahan.
A.      Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi:
1.         Jual beli,
2.         Tukar menukar,
3.         Hibah,
4.         Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
5.         Pembagian hak bersama,
6.         Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik,
7.         Pemberian Hak Tanggungan,
8.         Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam rangka melaksanakan tugas pokok tersebut, maka PPAT diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998 yaitu kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya. Sedangkan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. 

B.      Daerah Kerja PPAT
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 PP Nomor 37 Tahun 1998, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. PPAT hanya berwenang membuat akta tanah dalam daerah kerjanya. Pengecualian terhadap kewenangan PPAT yang hanya meliputi satu daerah kerja diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat 2. Perluasan daerah kerja dibatasi dalam pembuatan Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama. Akta tersebut tetap dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta tersebut.
Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa dalam hal terjadi pemecahan wilayah kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 tahun sejak diundangkannya Undang-undang Pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru, PPAT yang wilayah kerjanya merupakan daerah yang dipecah tersebut harus memilih daerah kerja yang baru antara kabupaten/kota hasil pemecahan tersebut. Jika PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 Tahun sejak diundangkannya Undang-undang Pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru tidak juga melakukan pemilihan daerah kerja, maka daerah kerjanya ditentukan berdasarkan dimana letak kantornya berkedudukan.
C.    Kewajiban dan Larangan  PPAT
1.         Kewajiban PPAT
      Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 adalah :
 a.    menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik    Indonesia;
             b.    mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
         c.    menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor  Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
           d.   menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
        1)   PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat  (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
        2)   PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang   menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
   3)   PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
         e.    membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah;
       f.     membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
     g.    berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
     h.    menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
          i.      melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
         j.      memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
        k.    lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
2.         Larangan dalam pelaksanaan jabatan PPAT
Larangan dalam pelaksanaan jabatan PPAT tidak diatur secara khusus dalam satu pasal tertentu dalam PP Nomor 37 Tahun 1998, akan tetapi ada beberapa larangan yang tersurat dalam beberapa pasal, yaitu:
a.    berdasarkan Pasal 23 PP Nomor 37 Tahun 1998  PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
b.    berdasarkan ketentuan Pasal 7 PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya dilarang rangkap jabatannya dengan profesi pengacara atau advokat dan pengawai negeri atau pegawai BUMN/BUMD. Adapun alasan pelarangan yang demikian adalah untuk menjaga imparsialitas dan kemandirian PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya. PPAT yang merangkap jabatan sebagaimana tersebut di atas wajib mengajukan permohonan berhenti kepada Kepala Badan. Apabila dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak PPAT yang merangkap jabatan tidak mengajukan permohonan berhenti, maka Kepala Badan memberhentikan dengan hormat yang bersangkutan sebagai PPAT.

D.      Tinjauan Umum Tentang Akta Otentik
       Dalam hukum acara perdata terdapat 5 (lima) alat bukti sah yang diakui, antara lain:
1.    Bukti tulisan
2.    Bukti dengan saksi-saksi
3.    Persangkaan-persangkaan
4.    Pengakuan
5.    Sumpah.
Akta termasuk ke dalam bukti tulisan. Akta adalah suatu tulisan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti dari suatu perbuatan hukum.[1] Selain akta juga terdapat bukti tulisan berupa surat-surat lain yang bukan berbentuk akta seperti resi, kuitansi, dan lain-lain. Suatu bukti tulisan dapat dikatakan sebagai akta apabila:[2]
1.    surat tersebut ditandatangani
2.    surat tersebut memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu perikatan
3.    surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.
Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata akta sebagai bukti dapat berwujud akta otentik dan akta di bawah tangan. Berdasarkan Pasal 1868 KUH perdata, suatu akta otentik adalah:
1.    Akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2.    Akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
3.    Akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat
Terdapat empat faktor yang menentukan kewenangan notaris untuk membuat akta otentik yaitu:[3]
a.    Berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya;
b.    Berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuatnya;
c.    Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuatnya;
d.   Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Berdasarkan Pasal 165 HIR, akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang apa yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum didalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.
Apabila ketentuan 1868 KUH Perdata tidak dipenuhi maka akta tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1869 KUH Perdata.
Akta otentik memiliki 2 fungsi yaitu:[4]
1.    Fungsi formal (Formalitas causa) artinya suatu perbuatan hukum baru sah jika dibuat dengan akta otentik dan tidak dapat dibuktikan dengan bukti lainnya.
2.    Fungsi sebagai alat bukti (Probationis causa) artinya akta otentik dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta.
Jadi, selain berfungsi sebagai alat bukti dari suatu hubungan hukum, akta otentik juga berfungsi sebagai syarat sahnya suatu perjanjian formil. Contohnya adalah perjanjian kawin dan pendirian perseroan terbatas merupakan perjanjian formil yang wajib dibuat dalam bentuk akta otentik di hadapan notaris.
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya hanya mengikat hakim apabila diakui oleh para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1874 KUH Perdata akta di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan seperti surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain, tulisan mana dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Akta di bawah tangan yang dibuat hanya di antara para pihak tanpa campur tangan pejabat umum kekuatan pembuktiannya hanya mengikat para pihak. Kekuatan pembuktiannya sempurna seperti halnya akta otentik apabila para pihak mengakui isi akta serta tanda tangan dalam akta tersebut (1875 KUH Perdata). Apabila terdapat penyangkalan oleh salah satu pihak, pihak yang menggunakan akta di bawah tangan tersebut yang harus membuktikan kebenaran dari akta di bawah tangan tersebut dan penilaiannya diserahkan kepada hakim. Sesuai dengan ketentuan 1878 KUH Perdata maka akta di bawah tangan tersebut hanya diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. 

BAB III
PEMBAHASAN

A.      Kedudukan dan Otentisitas Akta PPAT Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata
PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pertanahan dibatasi kewenangannya untuk membuat 8 jenis akta sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu: 
1.         Jual-beli
2.         Tukar-menukar
3.         Hibah
4.         Pemasukan ke dalam perusahaan
5.         Pembagian hak bersama
6.         Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik
7.         Pemberian Hak Tanggungan
8.         Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Di samping delapan kewenangan tersebut, PPAT juga berwenang membuat perjanjian tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau Hunian oleh orang Asing yang berkedudukan di Indonesia berdasarkan Pasal 3 ayat 22 PP No.41 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau Hunian oleh orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
Awal mula penggunaan blanko Akta PPAT dimulai pada Tahun 1961 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta yang mulai berlaku pada tanggal 7 September 1961. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Pejabat pembuat Akta Tanah wajib menggunakan:
a.    Untuk membuat akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 1, pejabat harus mempergunakan pormulir-pormulir yang tercetak.
b.    Dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah, seorang pejabat dapat mempergunakan pormulir-pormulir yang distensil atau ditik, dengan ketentuan, bahwa kertas yang dipakai untuk menstensil atau mentik pormulir itu ialah kertas HVS. 70/80 gram yang berukuran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 di atas.
Perkembangannya selanjutnya, blanko akta tetap dipertahankan dengan berlakunya PMA Nomor 3 Tahun 1997. Di dalam PMA tersebut ditegaskan bahwa akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blanko yang telah disediakan atau dicetak oleh BPN atau instansi lain yang ditunjuk. Tanpa menggunakan blanko, maka akta PPAT akan ditolak pendaftaran peralihan atau pembebanan haknya oleh kantor pertanahan. Pasal 96 PMA Nomor 3 Tahun 1997 menegaskan fungsi blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan Blanko Akta PPAT. Pengaturan blanko Akta PPAT diatur dalam Peraturan Kepala BPN. Sehingga tugas, kewenangan dan tanggung jawab pengadaan dan pendistribusian blanko akta berada di tangan BPN.
Standarisasi akta PPAT dalam bentuk blanko yang dilakukan pemerintah sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan PPAT sementara dari kalangan camat yang tidak semuanya memahami hukum pertanahan. Namun bentuk akta yang baku tersebut seringkali menimbulkan kesulitan bagi PPAT dari kalangan notaris yang memahami hukum. Pada umumnya, para PPAT dari kalangan notaris tidak sepenuhnya menggunakan Pasal-Pasal dalam blanko dengan cara renvoii dan menggantinya dengan rumusan sendiri sesuai keinginan para pihak. Kondisi seperti ini jelas tidak praktis. PPAT sebagai pejabat umum seharusnya diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri seperti halnya Notaris, bukannya mengisi blanko. PPAT dari kalangan notaris menghendaki agar mereka diberi kebebasan menentukan sendiri bentuk, isi dan cara menuangkan klausula dalam akta tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan praktek yang selalu berkembang pesat. Bagi camat sebagai PPAT sementara yang kesulitan untuk membuat akta sendiri dapat mengacu kepada bentuk baku akta yang telah disediakan oleh pemerintah.
Pembuatan akta tanah oleh PPAT harus menggunakan blanko-blanko tersebut, jika tidak pendaftaran peralihan hak atas tanah akan ditolak oleh BPN. Akta yang dibuat PPAT selama ini tidak ditentukan bentuknya oleh undang-undang, melainkan hanya sebatas Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Akta PPAT ditentukan secara baku dan seragam oleh menteri dimulai dari pemberlakuan PMA Nomor 11 Tahun 1961, PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 38 ayat (2), PMA Nomor 3 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 21 ayat (1). Walaupun demikian, akta-akta tersebut tetap dikualifikasikan sebagai akta otentik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 PP No.37 Tahun 1998. Di dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) ditegaskan bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh menteri.
Dalam hal kelangkaan blanko pun PPAT tidak diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui suratnya Nomor 640/1884  tertanggal 31 Juli 2003 telah memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan mendesak seperti dalam mengahadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta PPAT dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blanko akta yang dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman.
Bentuk Akta PPAT yang diatur dalam peraturan Menteri dan Bentuk Akta Notaris yang diatur dalam bentuk undang-undang walaupun memiliki kekuatan otentisitas yang sama, memiliki sejumlah perbedaan, yaitu :
1.    Penghadap dalam Akta Notaris harus berusia sekurang-kurangnya 18 Tahun atau telah kawin, sedangkan dalam akta PPAT penghadap harus berusia sekurang-kurangnya harus berusia 21 Tahun atau telah kawin; terkait dengan usia kedewasaan dalam hukum kenotariatan dan kePPATan belum terdapat keseragaman standarisasi. Seharusnya standar usia dewasa yang dipergunakan saat ini sejak diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah 18 Tahun.
2.    Dalam pembuatan akta Notaris terdapat larangan untuk membuat akta bagi orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat ketiga dengan Notaris dan para saksi akta. Sedangkanm, dalam pembuatan Akta PPAT terdapat larangan  untuk membuat akta bagi orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat kedua dengan PPAT dan para saksi akta.
3.    Notaris wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris. Dari minuta tersebut Notaris berwenang mengeluarkan Grosse, salinan atau kutipan akta. Notaris  juga berwenang membuat akta dalam bentuk in originali. Sedangkan akta PPAT dibuat dalam bentuk in originali sebanyak 2 rangkap yaitu lembar pertama sebanyak 1 rangkap disimpan oleh PPAT, lembar kedua sebanyak 1 rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk kepentingan pendaftaran. Dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa Membebankan Hak Tanggungan disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.
Dalam prakteknya, pembuatan akta PPAT dalam bentuk blanko juga dipaksakan kepada Notaris yang membuat SKMHT untuk hak atas tanah yang terletak di luar tempat kedudukan PPAT. Pembuatan SKMHT oleh notaris seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 38 UUJN, namun dalam prakteknya, sejumlah kantor pertanahan menolak SKMHT yang tidak dibuat dalam bentuk blanko oleh notaris. Praktek semacam ini harus segera diperbaiki karena menimbulkan inkonsistensi dengan UUJN.
Pembuatan akta otentik PPAT dalam bentuk blanko ini bertentangan dengan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta dikualifikasikan sebagai akta otentik bentuknya harus diatur oleh undang-undang dan dibuat oleh pejabat umum ditempat dimana ia berwenang. Pejabat umum memiliki kewenangan verlijden akta. Verlijden harus diberi pengertian kewenangan memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang termasuk mempersiapkan, menyusun dan membuat akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan. PPAT sebagai pejabat umum seharusnya diberikan kewenangan untuk membuat bukan mengisi blanko atau formulir yang disediakan BPN. Kewenangan membuat ini harus diartikan sebagai kewenangan untuk menciptakan, menyusun, melakukan, mengerjakan sendiri isi akta PPAT, bukannya  mengisi kolom kosong di dalam formulir atau blanko.
Kelemahan dasar hukum jabatan PPAT yang hanya berbentuk peraturan pemerintah hingga saat ini menyebabkan PPAT tidak memenuhi kualifikasi pejabat umum untuk membuat akta otentik. Akta PPAT yang dibuat dengan cara mengisi blanko juga semakin memperlemah kekuatan otentik akta PPAT tersebut. Namun dalam prakteknya saat ini, secara analogi dan berdasar pada hukum kebiasaan PPAT dianggap sebagai pejabat umum seperti halnya Notaris dan akta PPAT dianggap memiliki otentisitas seperti halnya akta Notaris. Praktik seperti ini tidak dapat terus dipertahankan karena tidak menjamin kepastian hukum.



[1] Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju. 2011, hal 99.
[2] Ibid., hal.101.
[3] Ibid. hal. 49-50.
[4] Pieter Latumeten. Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya. Makalah disampaikan dalam Kongres ke XX INI, Surabaya, 28 Januari 2009. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar